[20] Saran

3.2K 552 75
                                    

Jordan kira saat dia akhirnya pulang ke rumah setelah membiarkan ayahnya memiliki waktu berdua bersama sang bunda seharian, bisa membuahkan hasil. Padahal laki-laki itu sudah membayangkan dirinya akan pulang dengan suasana rumah yang berbeda dari biasanya, yang tidak lagi hangat. Dia sudah mempersiapkan diri apabila pulang dengan sambutan orang tuanya yang sedang bertengkar karena ayahnya sudah mengaku, atau semacam perang dingin, atau bundanya yang menangis. Tapi ternyata semua itu hanya imajinasi belaka.

"Ayah belum ngomong ke bunda?" tatapan Jordan memicing pada pria tua di hadapannya dengan suara pelan.

"Besok lusa kamu ulang tahun, nak. Ayah gak mau ngerusak hari baik kamu. Kasih ayah waktu sebentar, setidaknya kita masih bisa rayain ulang tahun kamu bertiga seperti tahun-tahun lalu, biar bunda seneng."

"Bunda lebih seneng kalau suaminya enggak selingkuh."

"Jordan."

"Dan aku gak minta dirayain. Jadi enggak usah."

Demi Tuhan, menjadi anak durhaka tidak pernah ada di kamus Jordan, sama sekali. Dia tidak ingin menjadi anak yang tidak tahu diri dan menyakiti orang tuanya. Tapi Jordan tidak bisa menahan diri dengan bersikap baik-baik saja pada ayahnya sementara dia tahu aib pria tersebut. Anak mana yang bisa tetap berbaik hati jika mereka berada di posisi Jordan? Jordan ini hanya manusia biasa.

Jordan tahu dua hari lagi tidak akan jadi hari baik seperti yang dikatakan ayahnya. Jika tahun-tahun yang lalu dia akan berbahagia duduk bertiga dengan orang tuanya, merayakan ulang tahun dengan dinner sederhana dan canda tawa, biarkan Jordan jadi egois nanti, dengan tidak bergabung ada acara yang dibuat ayah dan bundanya.

Jordan tidak butuh dibuat bahagia dengan kebohongan ayahnya.

••

Di jam lima sore, mobil Andro udah terparkir rapi di teras rumah Jena. Hujan deras bahkan gak bikin mereka semua gagal kumpul. Padahal kalau Jena mah udah keburu mager kemana-mana.

"Oh, bawa mobil satu?"

Jena nanya sambil jalan lebih dulu diikuti lima temannya yang lain untuk masuk ke dalam rumah. Pertanyaannya diangguki Andro dengan bonus protes karena cowok itu harus jemput temen-temennya.

"Padahal cuman berhenti dua kali! Pelit banget, buset."

Apip ikut ngomel karena Andro protes seolah-olah dia jemputin satu-persatu banget. Padahal posisinya Bagas udah di rumah Andro, Nina udah di rumah Gisel, jadi Andro tinggal jemput di dua pemberhentian.

Mereka semua masuk ke rumah disambut oleh Hanna yang membukakan pintu lebar-lebar.

"Ini yang namanya Bagas sama Andro, ya?"

Andro dan Bagas mengangguk kompak sembari menyalimi.

"Kalau yang lain tante udah pada kenal. Kalau yang ini belum pernah ketemu. Yang Bagas yang ini, kan?" tunjuk Hanna pada laki-laki bertubuh tinggi dengan kemeja flanel warna merah. "Betul, gak?"

"Betul, tante."

Sembari Hanna mempersilahkan teman-teman anaknya untuk memilih tempat bersantai, Andro sibuk bisik-bisik di kuping Nina.

"Cakep, ya, nyokapnya. Awet muda gitu."

Afif menyahut semangat. "Wah belum tahu lo muka bapaknya. Beuh, makin tuwir makin yoi!"

Bagas menunjuk figura foto yang dipajang di ruang tamu dengan ukuran cukup besar. Foto saat Gellar wisuda.

"Itu abangnya, Pip? Bang Gellar itu?"

"Iya, yang ntu."

Andro berdecak sambil geleng-geleng. "Gila, ini sekeluarga bening banget. Makan plastik kali, yak?"

eight letters.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang