Bonus Chapter [1] : Getting Wild

3.8K 155 1
                                    

"Aku suka, deh, sama desain kamarnya. Tapi aku boleh nambah pajang foto gak?" tanya Jena setelah semua tukang yang disewa Jordan pulang meninggalkan mereka berdua.

Jordan yang masih berdiri mengamati dapur jadi menoleh sekilas. "Foto apa?" tanyanya lalu mengusap ujung permukaan meja makan. "Sayang, besok ke IKEA, ya?"

Jena mendekat. "Beli apa lagi? Kok gak sekalian minggu lalu, sih?"

"Ini ujungnya lancip. Ngeri kamu kena," kata Jordan lalu balik badan. Dia merangkul tubuh Jena dan membawanya duduk di sofa ruang tengah. "Tadi mau majang foto apa?"

"Foto pre-wed kita. Tapi kecil aja."

Jordan manggut-manggut.

"Bagus foto pre-wed atau foto nikah?"

Jordan baru mau buka mulut tapi Jena kembali menyambar. "Jangan bilang terserah!"

"Bagus pas resepsi."

"Pas pre-wed emang aku jelek?"

"Enggak. Semua bagus tapi pas resepsi lebih cantik lagi."

"Karena?" pancing Jena sambil memajukan wajah dan mengulum senyum menggemaskan.

"Karena udah jadi istri," jawab Jordan lalu melabuhkan kecupan di bibir.

Jena tersenyum girang.

"Aku tahu," kata perempuan itu senang sambil menegakkan tubuh dan mengambil remote.

••

"Kalau kamu keberatan, gak usah," kata Jordan. "Aku gak masalah."

Tapi Jena gak berpikir dia keberatan. Dia hanya terkejut karena suaminya. laki-laki yang jarang sekali menyentuhnya saat berpacaran dulu, ternyata memiliki keinginan-keinginan yang Jena bahkan gak pernah kepikiran ke sana.

"I like the way you adore yourself," kata Jordan saat menjelaskan mengapa dia berfantasi seperti itu. "Kalau di luar sana banyak orang yang insecure dan gak menyukai diri sendiri, kamu sebaliknya. Aku seneng kamu percaya diri. It turns me on."

Tapi Jena malu! Demi Tuhan, kepalanya sampai sakit saat Jordan bilang begitu. Jordan tahu Jena sangat suka bercinta dengannya. Perempuan yang awalnya suka malu-malu itu bisa berubah jadi liar sesaat setelah Jordan memancing sisi nakalnya.

"And wearing high school uniform."

"What?!"

"Hell, ya," Jordan terkekeh sendiri atas kalimatnya. Laki-laki itu membawa Jena ke rengkuhannya dan membuat mereka sama-sama menyandar pada kepala ranjang. "Kamu mau tahu sesuatu?"

"...apa?"

"Aku pernah turn on pas jemput kamu dari sekolah. Inget, gak?"

"Kapan?" Jena menggigit bibir bawahnya. "Kakak, kan, sering jemput pulang sekolah."

"Yang aku pinjemin kamu jaket karena paha kamu kelihatan."

"Gak inget."

"Ck," Jordan berdecak.

Bagaimana bisa perempuan ini lupa sementara kejadian itu membuat Jordan harus berfantasi liar pada seorang perempuan untuk pertama kalinya?

Dipikir-pikir, Jena jadi merasa senang mengetahui fakta bahwa Jordan sudah berfantasi lama tentang dia sejak lama. Selama pacaran, Jena sempat berpikir apakah dirinya kurang cantik sampai Jordan tidak pernah berkeinginan menyentuhnya. Tapi ternyata dugaan itu salah. Bahkan saat Jena masih SMA aja Jordan sudah berani membayangkan yang tidak-tidak.

Dasar om-om mesum.

••

"Aku, kan, udah bilang seribu kali sama kamu, jangan mau-mauan diajakin minum! Aku gak suka kamu pulang bau alkohol kayak gini."

"Aku cuman minum dua—"

"'Mau dua sloki, dua botol, dua galon, kalau aku bilang aku gak suka, ya, enggak suka!" Bahu Jena naik turun karena emosi. Dia menahan diri untuk tidak muntah saat Jordan mendekat karena bau alkohol yang menyengat. "Kamu tahu, kan, rasanya ngasih tahu orang terus-terusan itu capek? Kok malah aku disuruh ngerasain begitu juga?"

"Sayang, iya, maaf. Aku minta maaf. Tapi Echan lagi sumpek, aku gak tega buat nolak nemenin dia."

"Nemenin, kan, bukan berarti harus ikut minum?!" Jena menepis tangan Jordan yang ingin menyentuhnya. "Kamu, tuh—"

Shit. Jena ingin menangis saja rasanya. Dia benci saat dia harus berteriak membentak Jordan dan berakhir membuat suasana semakin runyam. Dia benci harus menangis saat dia harusnya mencaci-maki.

Paham bahwa emosi Jena sedang tidak stabil, Jordan kembali mendekat dan menyentuh tangan Jena lembut.

"Aku apa..." tanyanya dengan tatapan teduh. "Aku apa, Sayang?"

Ia bisa melihat mata Jena yang meneteskan air mata. Rasa bersalah menghujam Jordan begitu kencang. Ini pertengkaran pertama mereka setelah menikah dan Jordan sudah membuat Jena menangis. Demi Tuhan rasanya Jordan ingin meninju diri sendiri.

"Gak usah ngomong sama aku selamanya," kata Jena ketus lalu pergi dari hadapan Jordan sambil mengusap pipinya kasar. "Capek ngomong sama kamu."

••

Effort banget, kan, Jena cuman buat nyenengin suami? Sampai harus catokan segala padahal habis ini rambutnya juga berantakan lagi.

"Really?" tanyanya memastikan. "I'll stop it if you don't want it."

Bilangnya will stop it tapi tangannya turun ke dada Jena. Gimana, tuh, maksudnya? Jena menggerutu kecil karena omongan dan kelakuan laki-laki itu yang gak sefrekuensi. Jordan ketawa.

Sembari tangannya turun menjamah dimana-mana, laki-laki itu bergumam lirih di tengkuk Jena. "You look way hotter when you mad, don't you know it?"

"Oh, ya?"

Jari Jordan mengusap paha dalam Jena dengan hidung mengendus tengkuknya. "Hm. That turns me on."

"Kamu, mah, kapan enggak turn on kalau lihat aku?"

"Iya, bener," laki-laki itu menyetujui. "Buka kakinya."

"Oh, shit," Jena menggigit bibir bawahnya kencang-kencang saat tangan laki-laki itu berkelana.

"Hei," Jordan tertawa membuat Jena menoleh ke samping kebingungan. Jordan memagut bibir perempuan itu. "Siapa yang ngajarin ngomong kasar?"

"Sorry," Jena meringis. "It just..."

"It just?"

Jordan memasukkan satu jarinya dan kaki Jena bergetar. "Ugh."

"It just?" tanya Jordan lagi menuntut. Dia ciumi pipi Jena sembari melirik ke arah cermin.

"It just feels great."

•••

SELENGKAPNYA HANYA DI KARYAKARSA HEHEHE.

Bonus chapter [1] Eight Letters udah aku posting di sana, ya. Judulnya sama: Getting Wild. Harganya lumayan karena isinya 5000 kata full Jordan dan Jena doang. Sampai mual, dah, tuh bacain mereka.

Next bonus chapter sepertinya aku taruh di Wattpad. Tapi belum tahu juga.

See you soon!

eight letters.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang