Part 1

1.8K 46 2
                                    

Kemarin ide lagi lancar untuk ini. Dan bener-bener macet waktu mau nulis Finding Love. Dan mengingat Dewa mau tamat, saya upload cerita ini. Semoga suka ya. Selimat menikmati readers.



Many years ago...

"Sam!" Aku menggeram kesal. Sudah berapa kali aku katakan kepadanya jika aku tidak suka dipanggil Sam. Aku perempuan, dan Sam itu identik dengan nama laki-laki. "Sam, tungguin gue. Cepet amat sih jalan lo". Aku berhenti. Mengambil nafas, dan saat akan berbalik tiba-tiba badan tegap tinggi itu sudah menabrakku.

"Aww. Lo kalo mau balik arah ngasih tanda dong Sam". Ucapnya. Aku mendelik kesal.

"Jangan panggil gue Sam, Raditya Soebrata. Lo tahu kan gue nggak suka dipanggil dengan nama itu".

"Tapi kan nama lo Sam". Aku menjewer telinganya.

"Punya telinga tu dipake buat dengerin ya. Gue kan udah beratus-ratus kali bilang panggil gue Mara. Jangan Sam!"

"Kelakuan lo aja kayak preman. Pantesnya dipanggil Sam". Ejeknya.

"Bodo!" Aku berbalik dan segera melanjutkan perjalananku yang tertunda.

"Mara, gitu aja kok ngambek sih". Ucapnya dengan langkah cepat mensejajariku. Aku hanya acuh. Terserah dia sajalah. "Lo mau kemana Ra?"

"Mau balik. Enek gue liat lo". Jawabku. Dan setelah itu aku berlari meninggalkannya.

"Samaraaaa! Berhenti nggak lo. Tungguin gue". Aku hanya tersenyum mendengar teriakannya.

Sekarang aku sudah bersandar di sebuah sedan silver. Tersenyum menang melihat lelaki itu berjalan terengah-engah kearahku.

"Gila lo Ra, gue hampir mati ngejar lo". Ucapnya setelah sampai didepanku. Kubuka ranselku lalu kuberikan sebuah botol air mineral kepadanya.

"Minum dulu nih. Mati beneran ntar lo". Aku terkekeh. Dia mendelik kesal lalu menjitak kepalaku.

"Sakit Radit".

"Gue juga. Lo kudu mijetin gue abis ini".

"Ogah".

Jadi perkenalkan, namaku Samara Tunggadewi. Orangtuaku yang memberikanku nama itu. Aku tidak masalah dengan nama panjangku. Aku hanya akan mempermasalahkan jika ada yang memanggilku Sam. Aku suka dengan arti dari namaku. Samara dalam bahasa sansekerta adalah anak yang dilindungi oleh para dewa. Dan Tunggadewi sendiri beragam artinya. Tapi aku suka dengan artiannya yang mulia dan cantik. Jika kalian menganggapku nasis, aku terima. Tapi memang begitulah kenyataannya. Aku setengah bule, sudah pasti aku cantik. Ibuku keturunan Belanda. Tapi beliau sudah meninggal saat aku berumur 10 tahun. Penyakit kanker getah bening membuat ibu meninggalkan aku dan ayah secepat itu. Ayahku sendiri orang pribumi, made in Indonesia dan dari Solo.

Dua tahun yang lalu aku mulai mengenal laki-laki songong yang kini berdiri didepanku. Raditya Soebrata. Wajah tampan, kaya raya, dikejar-kejar para wanita dan mau-maunya berteman denganku.

Saat aku tanya alasannya kenapa mau berteman denganku, jawabannya adalah "karna lo cewek yang nggak naksir sama gue". Benar-benar songong kan.

"Lo mau kemana Ra?" Tanyanya.

"Mau pulang. Capek gue abis bimbingan tugas akhir".

"Bareng deh. Gue anterin". Aku tersenyum bahagia.

"Ngapain lo senyum-senyum. Stres".

"Gue kan seneng Radit. Lo jadi temen peka banget deh". Aku tertawa.

"Ciiih". Ujarnya ketus.

Disepanjang perjalan, aku menceritakan hasil bimbinganku, sesekali kita menyanyi bersama mengikuti musik di radio. Kami kompak dalam segala hal. Dan kami gila setiap saat.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang