Ayah in Neverland

489 35 3
                                    

"Ra, menurut kamu...". Ucap Bagas yang tiba-tiba masuk kedalam ruanganku. "Astaga, kamu nangis Ra?" Tanyanya lagi.

Tidak. Aku sedang tertawa bahagia. Ya iyalah aku nangis! Sompret emang nggak keliatan?

"Cupcup Ra, kamu kayak anak kecil deh kalau nangis. Nggak malu sama Sam?"

"Justru aku nangis karena dia."

"Lah dia kenapa? Dia ngambek? Kamu dilempar sama mobil-mobilannya dia?" Seketika aku melempar bolpen dan tepat mengenai jidatnya.

"Astagfirullah. Sakit woiii".

"Kamu juga ngomong seenaknya sendiri".

"Ya kenapa deh?"

"Nih". Aku menyodorkan handphone ku kepadanya.

Bagas mengeryitkan dahinya.

"Dia kangen ayahnya Ra".

"Aku nggak tahu. Sam nggak pernah tanya tentang ayahnya".

"Ya kamu peka dong. Dia itu butuh figur ayah Ra".

"Tapi udah ada eyangnya".

"Ayah Mara ayah. Bukan eyang. Jongkok banget sih hih". Aku hanya terdiam.

"Bodoh ah. Aku udah bilang ke kamu berkali-kali Mara. Tapi kalau kamu masih keras kepala yaudah".

"Aku nggak tahu dimana ayahnya. Dan kamu tahu itu Bagas".

"Cari yang baru. Beli di Lazada".

Astaga Tuhanku, kuatkan hamba menghadapi laki-laki ini ya Tuhan. Kenapa Rena bisa jatuh cinta dengan laki-laki ini? Dan kenapa dia harus menjadi calon saudaraku? Kalau membunuh orang tidak menimbulkan dosa akan aku lakukan sekarang juga kepadanya.

"Mulutmu pengen aku gunting deh Gas". Bagas hanya tertawa.

"Kamunya juga sih keras kepala. Udahlah Ra, melunak sedikit kamu itu. Pikirin lagi deh Ra". Ucapnya sambil berlalu dari ruanganku.

Aku terpaku. Jika aku yang egois, jika aku yang keras, sudah pasti aku akan menahan ayah Sam waktu dia ingin pergi. Tapi aku melepasnya, merelakan meninggalkanku untuk menggapai kebahagiannya. Tidak cukupkah aku berbesar hati?

Dan bicara tentang ayah baru untuk Sam jawabannya adalah tidak. Sampai sekarang aku tidak pernah bisa membuka hatiku untuk laki-laki lain.

Bagas pernah memaksaku untuk membuka hati tapi tetap saja aku tidak bisa. Semakin kupaksa rasanya semakin sakit dan lalu berubah menjadi hambar.

"Kata Bagas kamu nangis mbak?" Tiba-tiba sosok Rena sudah duduk dihadapanku.

"Eh sejak kapan kamu disitu?"

"Lumayan lah buat liat mbak ngelamun. Kenapa sih?"

"Kamu pasti udah tau dari si ember itu. Nggak usah tanya lagi deh". Rena tertawa.

"Mbak segitunya kamu sama Bagas".

"Aku sama dia nggak akan cocok Ren. Dia terlalu songong dan slengekan".

"Dan kamu terlalu cuek mbak jadi orang. Itu nggak baik. Kita tuh makhluk sosial, banyak-banyakin bergaul. Kalau nggak ada Bagas ataupun aku, mbak bakal cerita sama siapa? Mbak punya temen? Nggak kan".

Rena menghela nafasnya sebentar. Lalu kembali berbicara. "Mbak juga nggak mungkin akan terus cerita sama om Tirta kan? Dan aku yakin mbak nggak bakal cerita ke om Tirta Karena mbak pikir om Tirta bakal sedih kalau denger cerita mbak. Terus apa yang mbak lakuin? Ditahan sendiri? Aku tahu mbak lebih bisa terbuka dengan Bagas daripada aku. Walaupun kata mbak sikapnya songong, tapi dia bisa kan bikin mbak cerita. Nggak nahan sendiri. Aku seneng mbak. Mbak Mara udah mulai mau berbagi".

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang