"Halo Sa, udah baikan sama Sanni belum?" Natasha mengirim pesan kepada Angkasa.Beberapa bulan sudah berlalu, Angkasa kembali ke Depok dan terus menulis naskahnya. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mencari sebuah inspirasi. Tempat yang memiliki banyak kenangan untuknya dan Sanni. Sanni saat ini layaknya kopi hangat yang pernah memberikan kehangatan. Namun sekarang, kopi itu terlalu lama Angkasa diamkan hingga kehangatannya hilang dengan sendirinya.
Angkasa yang terduduk di kafe kecil di Kota Depok teringat sesuatu saat memandang layar ponsel kecilnya. Sudah tidak ada kata-kata selamat pagi lagi dari Sanni. Sudah tidak ada lagi pesan-pesan kekanak-kanakan yang membuat Angkasa kesal dan tersenyum secara bersamaan. Namun, Angkasa juga sama dengan Sanni, jarinya jarang sekali mengirim kabar kepada Sanni setelah memilih jalan yang dia kira tepat. Kesalahannya membuat Angkasa tak pernah menyadari keberadaan Sanni.
Kehangatan yang Sanni berikan mulai hilang hingga rasa nyaman yang istimewa tak pernah kembali lagi. Angkasa yang begitu egois dan hanya mengejar mimpi kemudian lupa dengan Sanni yang ada di sebelahnya tatkala Angkasa jatuh dulu. Angkasa terus menyalahkan dirinya yang begitu bodoh melupakan kehangatan Sanni dulu dan membiarkan sikap Sanni menjadi dingin seperti sekarang.
Angkasa yang sekarang kembali lagi sendirian tanpa Sanni. Dia mengingat ketika Sanni tak mau berhenti mengingatkan tentang mimpnya setiap malam. Dulu Sanni selalu memarahinya ketika Angkasa mulai berhenti berjalan dan tidak mendengarkan perempuan yang mengubah dirinya. Padahal Angkasa tahu jika Sanni juga punya mimpi, tapi Sanni selalu mengingatkan mimpi Angkasa dan mengesampingkan mimpi miliknya sendiri.
Kala itu sangat hangat dan tiba-tiba sekali datangnya, seperti secangkir caramel latte yang datang dan membuat Angkasa tersadar akan lamunannya yang hanya memandang layar ponsel berwarna hitam. Ya seperti itu, jika masa itu bisa terulang kembali, Angkasa tidak akan membiarkan segelas kopi itu dingin seperti sekarang. Angkasa berjanji akan menikmati kehangatan yang Sanni berikan kemudian tersenyum dan bersyukur karena Tuhan telah mengirim perempuan hebat untuknya.
Kota Depok mendadak sedikit sepi dan Angkasa merasa harus melakukan sesuatu. Selain mencari inspirasi menulis naskah, Angkasa tidak memiliki tujuan lain. Dia pun berpikir untuk mencoba memperbaiki hubungannya dengan Sanni. Dia angkat telepon miliknya dan berusaha mencari tempat senyaman mungkin untuk menghubungi perempuan itu lagi. Telepon berbunyi dan menjadi tanda jika mereka terhubung.
"Halo, kamu baik-baik saja?" Tanya Angkasa sambil menatap genangan air akibat hujan.
"Ah laki-laki kurang ajar, kemana saja kamu, berapa bulan tidak menelpon>" Sanni masih sama menyebalkannya.
"Maaf ya, aku terlalu lama berpikir dengan apa yang ingin aku ambil. Bahkan hanya untuk meminta maaf." Angkasa berbicara sambil memandang langit.
"Tidak apa-apa, aku sudah memaafkanmu sejak lama. Lalu bagaimana?" Tanya Sanni.
"Aku mulai menulis dan saat ini aku belum berpasangan sih." Angkasa tidak berpikir dua kali berkata itu.
"Haha, kalau begitu kamu tidak boleh bikin kita marahan lagi ya." Sanni tertawa.
"Tidak akan lah, lagipula untuk apa." Mereka semakin dalam.
"Kadang iri ya?" Sanni berjalan keluar balkon apartemennya.
"Iri dengan siapa San?" Angkasa mulai dalam memandang langit.
"Dengan diri kita yang tidak bertengkar saat itu, suasana sekarang mungkin akan berbeda jika kita lebih dewasa." Kata Sanni melemahkan suaranya.
"Iya benar juga." Angkasa menjawab dan tetap memandang langit.
"Kalau begitu Sa, terima kasih untuk semuanya. Termasuk kembali dan meminta maaf." Sanni mengakhiri pembicaraan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Singgah
Romance"Menurut Angkasa bagaimana?" Kalimat yang muncul dari perempuan yang tidak disadari keberadaannya. Perempuan yang menjelma menjadi ruang singgah bagi sosok laki-laki yang entah apa tujuan hidupnya. Angkasa adalah orang yang tidak memiliki tujuan hi...