#04. Ekspresi

7.8K 353 48
                                    

Dinding bercatkan jingga sangat kontras dengan plafon yang berwarnakan biru laut. Beberapa bingkai foto terpajang rapi pada dinding. Tidak banyak, namun sudah cukup untuk menarik perhatian karena tata letaknya yang sangat mudah terjangkau oleh mata. Bukan hanya itu, beberapa benda juga menambah kesan unik, seperti senapan yang tertempel pada dinding itu misalnya.

Ruangan ini tidak terlalu luas. Bukan hanya ruangan ini sih, melainkan seisi rumah. Bagi aku yang tinggal di apartement mewah tentu rumah semacam ini terasa sempit. Tapi aku cukup kagum dengan interior yang berada di sini. Iya, hanya sekedar kagum. Karena sebetulnya, ini sih tidak ada apa-apanya dibandingkan kamar mandiku.

Dua cangkir teh hangat dan sepiring jamur goreng yang aku yakini itu adalah jamur Kimochi berada di atas kursi jati yang memisahkan dua buah sofa. Salah satu sofa diduduki oleh Ibu Erina dengan lapangnya. Sementara aku menempati sofa di seberangnya. Ya, di sana, tidak seorang diri, melainkan ... bertiga.

Kenapa posisinya bisa seperti ini lagi, sih? Erina duduk menengahi aku dengan Johar. Benar-benar mengesalkan. Seharusnya si Johar duduk lesehan saja. Jadi aku bisa puas mengkode dan [sok] membicarakan masa depan dengan Ibu Erina. Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak ada pilihan selain mengalahkan Johar si kamvret.

Aku mendengar Ibu Erina tertawa kecil ala ibu-ibu arisan sebelum mulai berbicara. "Ah, terima kasih banyak, ya, Nak Bintar. Sudah mau ngejualin jamur Kimochi kami. Kata Rina, berkat Nak Bintar, produk kami laku keras."

"Sama-sama, Tante. Oh iya, Tante. Nama saya bukan Bintar, tapi Bintang."

"Ah, iya, Nak Bintak. Sebelumnya perkenalkan, nama Tante Ebina. Jadi, panggil aku Tante Ebi, ya."

"Iya, Tante Ebi ... ahahahahah ...."

Ni Tante beneran sama kamvret-nya kyak anaknya, ya!? Apa sebegitu sulitnya mengingat namaku dengan benar! Namaku Bintang, Tante. B-i-n-t-a-n-g. Bintang!

Ah, sudahlah. Sabar Bintang, sabar. Jangan sampai ke-kamvret­-an mereka menghancurkan imej kerenmu. Sembari tersenyum, aku memakan beberapa keping jamur, diselingi dengan menyesap teh hangat.

"Johar satu kelas ya sama Nak Bintak?" tanya Tante Ebina.

"Iya, Tante."

"Hee, begitu. Ah, Tante juga terima kasih banyak sama Johar. Tante masih pengen kok jadiin Johar menantu. Ahahahahahah ...."

Eh? M-m-m-menantu!? Si kamvret itu!? Apa ini! Ternyata dia sudah lama curi start! Oi oi, Erina, katakan sesuatu. Jangan hanya diam dan memasang tatapan datar seperti itu! Apa kau mau menerima begitu saja, hah? Dan juga, oi Johar kamvret! Kenapa kau tidak merespon sama sekali!

Tiba-tiba, suara dering telepon terdengar entah dari ruangan mana. "Ah, Tante angkat telepon dulu, ya." Beliau beranjak setelah menyempatkan diri tersenyum ke arah kami bertiga, memasuki bagian dalam rumah dan lenyap dari pandangan.

Ya, kami bertiga. Dengan posisi 'wah' ini. Diselimuti suasana hening. Aku kembali menyesap teh, kemudian meletakkannya kembali sebelum berujar.

"Anu, Erina. Tehnya rasa kurang manis loh ...."

Erina menatapku sembari menjawab, "Hn? Masa?"

"Iya. Coba kamu senyum dong. Siapa tau tambah manis."

Krik Krik Krik

"Tidak ada korelasi sama sekali antara teh yang tambah manis dengan senyuman aku. Kak Bintang mengkhayal level dewa."

Aish, Erina, jangan ditanggapi seserius itu, oi. Tolong jangan memasang wajah seolah-olah kau sedang mengikuti acara debat bahasa Indonesia dan berada di tim penentang.

Ikeh Ikeh KimochiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang