#14. Kencan Bag.4

4K 164 11
                                    

Ini pertama kalinya aku melihat Aila menangis. Air mata yang menetes dari pelupuk itu pastilah tidak mengandung sedikit pun kebohongan. Ekspresi kagetnya kala itu mencerminkan sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya dari dirinya.

Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bagaimana bisa seorang Aila Dwi Santika menjadi seperti itu?

Setelah Aila berlari-yang dengan ketidakhati-hatian menabrak orang-orang sekitar-menjauhi Johar, aku memilih untuk mengikutinya secara diam-diam, mengawasinya yang tengah beranjak tak tentu arah.

Seiring itu, aku mulai teringat akan masa lalu. Beberapa bulan lalu, tepatnya ketika kami berdua putus dari hubungan pacaran, dia sempat mengatakan sesuatu dengan ekspresi yang begitu asing. Sayangnya, sewaktu itu aku tidak mendengar apa yang ia ucapkan. Egoku untuk tidak menanyakan padanya memperkukuh pendirianku, hingga menanamkan rasa penasaran yang semakin besar setiap harinya. Dan setelah beberapa lama, keingintahuan yang besar tersebut pun menghilang.

Namun sekarang, diriku kembali diingatkan pada kejadian itu. Dada ini spontan terasa sesak. Tunggu dulu. Sesak? Kenapa?

Semakin dalam pemikiranku, tanpa sadar, jejak Aila telah menghilang dari jarak pandang. Berbekal insting dan tekad, aku mencari ke berbagai arah. Untungnya tak butuh waktu lama untuk menemukannya yang tengah duduk di kursi jati panjang.

Dia termenung. Matanya agak merah. Pandangannya terpaku ke arah bawah. Sorot matanya yang terkesan kosong malah memperbesar keragu-raguan untuk menemuinya hingga membuat langkahku terhenti.

Sebenarnya untuk apa aku mengejarnya, mencarinya sampai terengah seperti ini? Apakah aku mau melontarkan kata-kata ejekan seperti "dasar cengeng" atau "cewek payah" atau semacamnya?

Tidak. Jelas sekali bukan itu.

Mengesampingkan hal tersebut, aku membuat langkah berani, dan tak terasa kini aku telah berdiri di sebelahnya.

Tanpa suara.

Dirinya seakan tidak menyadari keberadaanku. Tetapi menurutku, jelas sekali kalau dia sedang mengabaikanku. Tapi ini bukan dirinya yang biasanya. Harusnya dia langsung menyapaku dan melemparkan ejekan secara implisit, kan? Ah, maaf, sepertinya ini bukan momen yang tepat untuk melakukan hal semacam itu ya.

Aku pandangi orang-orang yang lalu lalang di hadapanku. Mereka begitu ceria, berbincang satu sama lain, tanpa ada yang menoleh ke arah kami-setidaknya ke arah Aila. Sudah jelas kan, kalau taman hiburan diciptakan untuk menghibur para pengunjung. Jadi tidak ada alasan untuk memedulikan orang yang bahkan tidak dikenal sama sekali.

Memang seharusnya begitu kan.

Diriku yang dulu begitu mengenal bagaimana rasanya saat tidak dipedulikan oleh orang sekitar. Semestinya sekarang, aku tidak melakukan kesalahan yang sama dengan orang-orang itu.

Tidak, lupakan saja. Tadi itu hanyalah omong kosong.

Sembari duduk di sebelah Aila, aku menyodorkannya minuman isotonik yang barusan aku beli. Respons yang tak kunjung datang memaksaku menoleh ke arahnya.

"Nih, minum dulu."

Setelah aku mengatakannya dengan nada perintah, dia malah menunduk semakin dalam. Haduh, kenapa bisa-bisanya aku merasa kasihan kepada cewek setipe Aila sih. Dan juga, apa yang membuatku kasian padanya?

"Johar kan emang kamvret. Sudah, jangan terlalu dipikirin."

Aku tersenyum paksa, berusaha menghibur. Ini bukan berarti aku peduli dengan Aila atau apa. Hanya saja ... hanya saja apa?

Ikeh Ikeh KimochiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang