#15. Diriku Yang Sekarang

3.8K 185 5
                                    

Apa ada perbedaan antara cinta dan kasih sayang?

Cinta dan kasih sayang itu serupa tapi tak sama, sama tapi berbeda. Orang-orang bilang bahwa cinta lebih besar dibandingkan kasih sayang. Lebih besar dalam hal apa? Jawabannya terlalu abstrak untuk didefinisikan.

Kedua hal itu bisa didapatkan ketika memenuhi persyaratan tertentu, yang mana orang yang tidak memenuhinya akan tersingkir dari hierarki sosial. Begitulah yang aku yakini semenjak kejadian-kejadian itu datang di kehidupanku.

Sebelum pindah ke Bandung, aku menghabiskan masa kecil dengan tinggal di Semarang. Hidup sederhana, makan apa adanya, dan bergaul dengan (sangat) sedikit teman sebaya, aku tidak pernah protes akan hal itu.

Masalah demi masalah pun bermunculan tak berapa lama kemudian. Ayah dan ibu bertengkar hebat. Mereka berdua menjadi jarang pulang, memaksaku beraktifitas seorang diri di rumah dalam kurun waktu yang terbilang lama. Mengingat uang saku yang diberikan begitu sedikit—yang membikinku seringkali hanya bisa makan satu kali sehari—membuatku curiga akan adanya permasalahan dalam hal keuangan.

Ya sudahlah. Pertengkaran suami istri mungkin terjadi sekali dua kali seumur hidup. Keluarga lain juga mengalaminya. Nanti bakalan akur lagi. Segalanya pasti akan kembali normal. Ya, kala itu aku terus percaya akan pemikiran tersebut, berusaha mengabaikan rasa sesak di dada yang kian menyakitkan ketika berada di rumah.

Sayangnya, tak ada sedikit pun yang sesuai perkiraanku.

Tepat ketika aku naik ke kelas dua SD, ayah dan ibu bercerai. Hak asuh dimenangkan oleh ibu, yang berarti aku tinggal bersama beliau. Setelah itu, kabar tentang keberadaan ayahku tidak lagi terdengar.

Hari-hariku mulai berubah sedikit demi sedikit.

Keuangan di keluargaku mengalami masa yang krusial. Meskipun tinggal berduaan di rumah yang sama, aku masih saja (sangat) jarang berkomunikasi dengan ibuku. Beliau sering keluar pagi-siang-malam, dan pagi berikutnya diantar pulang menggunakan mobil mewah oleh om-om yang selalu saja berbeda. Ibu tidak pernah memberitahukan apa-apa tentang pekerjaan beliau dan aku sama sekali tidak berani menanyakannya. Orang-orang di sekitarku pun seketika berubah dari semula baik menjadi penuh akan bisik-bisik.

Teman sebayaku perlahan menjauh. Mereka lebih memilih bergaul dengan murid yang kaya raya dan berkharisma. Namun bertepatan dengan itu, aku mendapatkan teman akrab baru.

Oh iya, yang aku maksud dengan teman akrab baru hanyalah dia seorang. Aku sering bermain dengannya di taman kota dan menghabiskan waktu bersama. Aku yakin kalau dia tidak satu kelas denganku, juga tidak satu sekolah. Tapi bagaimana perawaknya? Dia perempuan atau laki-laki? Siapa namanya? Entahlah. Biar berulang kali dicoba, aku tidak bisa mengingatnya. Meski begitu dan hanya beberapa kali bertemu, kenangan yang aku buat dengannya benar-benar nyata dan terasa sangat menyenangkan.

Beberapa bulan kemudian, ibuku menikah dengan seorang pengusaha. Kami pun berencana pindah ke Bandung. Sebelum pindah, aku terus-terusan datang ke taman kota, berharap bisa memberi tau perihal kepindahanku pada teman akrabku. Dari siang ke malam, dan siang ke malam pada hari berikutnya, dia tak kunjung datang. Alhasil, hari kepindahanku tiba tanpa berhasil bertemu dengannya lagi.

Gaya hidup di sekitarku berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak perlu waktu lama agar diriku terbiasa dengan kehidupan yang dipenuhi dengan fasilitas serba mewah dan segala macam kemudahan. Tentu aku bersyukur karena mendapatkan ini semua.

Tetapi mestinya aku sadar bahwa sesuatu yang hilang sangatlah sulit untuk didapatkan kembali.

Ibu dan ayah tiriku—yang ternyata seorang duda—jarang pulang ke rumah. Mereka bilang mereka mencintaiku. Mereka bilang bahwa apa yang berada di sini adalah wujud dari cinta mereka kepadaku.

Ikeh Ikeh KimochiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang