Waktu yang diberikannya agar aku bisa menaklukkan Erina adalah tiga bulan. Pada awalnya, aku berpikir bahwa dia sedang mengejekku dengan memberikan tenggat waktu sebanyak itu. Namun semakin berjalannya waktu, kekhawatiranku semakin memuncak.
Sekarang bersisa seminggu sebelum akhir dari masa perjanjian. Aku malah merasa kembali ke titik nol. Kejadian beberapa waktu lalu-ketika di taman hiburan-yang aku kira bisa menembus tembok pertahanan di hati Erina seakan tidak memberikan pengaruh apapun. Cewek itu masih bertingkah seperti biasa, memberikan suruhan kepadaku seperti biasa, juga berkomunikasi seperti biasa.
Orang bilang bahwa kerja keras tidak akan mengkhianatimu. Namun kini, segala kerja kerasku, perjuanganku, juga penderitaanku, tidak menghasilkan sesuatu yang memuaskan sama sekali.
Tidak ada yang dicapai. Tidak ada yang terpenuhi. Tidak ada yang sesuai ekspektasi. Jika begini terus, hanya satu hal yang akan terjadi di masa depan.
Bad ending.
Perasaan cemas menguasaiku di kala teringat akan spekulasi tersebut. Bisakah aku menaklukkannya dengan batas waktu itu? Bisakah ia membuka hatinya jika aku berusaha lebih keras lagi? Bisakah aku mencuri hatinya dengan masih mempertahankan harga diri?
Sudah pernah aku bilang 'kan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dan sekarang, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin jelas.
Mustahil.
Harus aku akui, Erina adalah cewek yang tidak bisa aku taklukkan. Mungkin ini terdengar seperti tanda pengangkatan bendera putih, namun begitulah kenyataannya.
Memaksakan diri untuk mengiyakan hal tersebut, aku pun mencoba untuk memakai jalur alternatif. Ya, sekarang, ditemani cahaya mentari sore yang masuk melalui jendela kaca, aku menyusuri lorong. Suasana sudah terbilang sepi lantaran seluruh jam pelajaran hari ini telah usai dan mayoritas murid sudah keluar dari lingkungan sekolah.
Aku menatap papan kelas X-3 sembari memantapkan tekad dari tiap langkah yang dibuat. Tak ada waktu lagi untuk mundur. Untuk melakukan hal ini, tercorengnya harga diriku adalah bayarannya. Kegagalan tidak boleh aku terima sebagai hasil.
Setelah berada di bawah kosen pintu, aku mendapati sosoknya yang tengah berdiri di depan jendela seraya memandang keluar kaca. Secara perlahan, aku mendekatinya, lalu berhenti melangkah ketika ia berbalik.
Tatapan kami bertemu. Perasaan nostalgia mendadak terasa kentara. Ekspresinya sekarang mengingatkanku akan kejadian di saat pertama kali kami bertemu. Ya, mengingatkanku pada kenangan yang luar biasa buruk.
"Hn? Ada perlu apa ya, Kak Bintang? Tiba-tiba menyuruhku ketemuan di sini."
Kamvret. Jangan berbicara sok innocent. Mimikmu yang kelihatan licik itu sudah menjelaskan segalanya.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Oi, Tian. Bagaimana kalau kita berdamai saja? Tidak ada gunanya melanjutkan ini semua, kan."
"Hn? Berdamai? Kak Bintang ngomong apa, ya?"
Dia menyahut sembari memberikan senyuman yang serupa denganku. Sesaat setelahnya, aku merubah ekspresiku menjadi lebih serius. Orang semacam Tian sepertinya tidak bisa diajak berkompromi dengan cara baik-baik.
"Kau pernah bilang kalau tujuanmu cuma ingin bersenang-senang, kan? Begini saja, jika kau melupakan masalah video itu, aku bakalan memberikan apapun yang kau minta. Bilang saja, mau uang berapa juta?"
Dia mengerutkan dahi. "Eh? Kak Bintang ngomong apa sih? Aku tidak mengerti."
Dilihat dari manapun, kata-katanya tidak sesuai dengan gelagat mengejek yang ia tampakkan. Sekarang aku benar-benar semakin merasa dipermainkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikeh Ikeh Kimochi
Teen Fiction[Cover by @andhyrama] Bintang adalah seorang murid kelas 2 SMA yang tampan, memiliki prestasi akademik gemilang, pemain basket yang handal, tajir, dan digrandrungi oleh banyak cewek di sekolahnya. Suatu hari, dia diancam oleh seseorang. Jika dia tid...