#09. Sorot Yang Memendam Kebencian

3.8K 203 7
                                    

Waktu terus bergulir tanpa mengenal kata henti, yang mana membuat masa sekolahku masih berlanjut seperti biasanya. Yang aku maksud biasa di sini dimulai semenjak beberapa hari yang lalu. Suara permintaan itu, barang yang diperjualbelikan itu, rutinitas itu, senyumanku yang sebenarnya dipaksakan, dan tampang datar khasnya.

Ya, rasa-rasanya tidak ada sedikit pun yang berubah. Dan meskipun memang ada perubahan yang tidak berhasil aku endus, hal itu sepertinya sama sekali tidak membantu untuk meningkatkan poin cinta Erina.

"Kamu istirahat saja ke kantin. Biar aku yang ke tempat Erina."

"Hn. Te-terima kasih, Kak."

Asistenku—Adena Kirana mengiyakan suruhanku tadi.

Untuk takaran seorang sahabat pastilah akan memberikan beberapa reaksi meski sekecil apapun. Dan melihat gelagat Adena yang masih tidak berubah membuatku berkesimpulan bahwa Erina tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai kejadian beberapa hari yang lalu.

Sembari berjalan, aku mengamati ke arah lapangan di mana murid-murid kelas satu sedang berolahraga. Oh iya, kalau dipikir-pikir, tidak ada lagi kehebohan di sekitar sini lantaran seorang Bintang Prasetyo berada di lingkungan kelas X. Aku tidak berharap itu terjadi terus-menerus. Hanya saja, sesuatu itu menunjukkan bahwa sudah cukup lama berlalu semenjak pertama kali kehebohan itu terjadi.

Tepat setelah melewati tangga, aku menemukan Erina tengah berbincang dengan seorang cewek. Benar, aku yakin tidak ada yang berubah. Ekspresinya ketika berhubungan denganku masih saja datar, seakan adegan penolakan akan pernyataan cintaku adalah sesuatu yang sangat tidak penting. Dan itu membuatku merasa sangat kesal.

Mereka berdua seketika berhenti berbincang dan beralih menatapku yang telah mendekat. Namun, entah karena apa, mendadak, cewek lain yang sama sekali tidak aku kenal itu beranjak ke balik punggung Erina sembari bertingkah serupa was-was.

Oi, oi, apa aku baru saja menemui seorang cewek super pemalu lainnya?

"Yo. Anu ... cewek yang di sana, siapa namamu, ya?"

Aku membuat mimik bersahabat ketika menanyakannya. Lalu Erina menyahut dengan dahi yang berkerut samar.

"Eh? Kakak tidak tau? Namanya Andi Riska Lestari. Bukannya Kakak sudah pernah nanya soal dia ...."

Biar pun kalimat terakhirnya itu terdengar begitu lirih, aku masih bisa memahami apa yang ia sampaikan. Tunggu dulu, perasaan aku tidak pernah bertanya apa-apa soal cewek ini. Erina ngigo?

"Hm, Riska, ya? Salam kenal, ya."

Dia—Riska mengangguk cepat. "Hn. Salam kenal juga. Tolong jangan terlalu dekat dengan saya ya, Kak Bintang."

Wew, baru pertama bertemu, dia sudah menunjukkan sikap malu-malu kucing yang luar biasa. Pasti detakan jantungnya sangat kencang sampai-sampai meminta agar aku jangan terlalu dekat. Tapi penekanan kata pada namaku tadi, apa maksudnya?

"Oh iya, Andi. Apa Aruna sekarang masih menunggu?"

Andi? Oi, Erina, bukannya itu nama cowok. Bisa-bisa dia marah loh.

"Nah! Kalau gitu, aku pergi dulu. Dadah, Rina."

Dan reaksinya menunjukkan keterbiasaan dipanggil seperti itu. Great. Kalau "Andi" adalah panggilan akrab, mungkin lain kali aku akan memanggilnya begitu dengan nada maskulin dan wajahnya akan merona hingga salah tingkah. Tapi sepertinya itu agak sedikit aneh. Apakah khayalanku sudah terlalu berlebihan?

Riska menepuk pundak Erina sebelum beranjak melewatiku tanpa menengok ke arahku sedikit pun. Ketika itulah aku baru sadar bahwa cuma Erina yang diberikan salam perpisahan olehnya.

Ikeh Ikeh KimochiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang