Ragil langsung terjaga begitu pintu ruangan kerja ayahnya dibuka dengan kasar. Anak itu mengerucutkan bibir sambil mengucek mata. Ingin sekali Ragil jengkel. Dia, kan, baru bisa tidur nyenyak. Tapi tiba-tiba dibangunkan dengan cara seperti itu.
Mulutnya terbuka lebar, hampir berteriak protes tepat ketika dia melihat ada yang tak beres dengan keluarganya yang baru saja masuk, sambil membuatnya kaget.
Arjuna, Kalin, dan Kaiv tak menghampirinya. Mereka berkumpul di meja kerja Arjuna, mengelilingi laptop milik ayahnya. Sementara itu dengan tangan gemetaran, Arjuna berulang kali berusaha membuka menyambungkan external drive. Sayangnya, hal sesepele itu tiba-tiba menjadi begitu sulit ia lakukan.
Ragil melongo, ia mendekat lalu mengalihkan tangan ayahnya. "Sini, Pa. Biar aku aja. Aku aja yang masangin," katanya dengan polos.
Arjuna mengangguk pasrah, membiarkan Ragil yang memutarkan CD yang ada di kotak milik Karan.
Mereka bisa merasakan bahwa detak jantung mereka kini berdetak sangat cepat. Bahkan suara detakannya bisa terdengar tanpa menggunakan stetoskop, ini parah, mereka sekarat. Sekarat karena dipermainkan takdir.
Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya video pertama berhasil terputar. Arjuna, Kalin, Kaiv, dan Ragil terdiam karena video itu dibuka dengan layar gelap tanpa suara.
Tapi kemudian, ada gambar yang muncul. Seorang suster tampaknya sedang meletakkan handycam di tempat yang strategis di sebuah ruangan. Tak lama, suara-suara bising mulai terdengar.
Mereka bisa melihat bahwa seseorang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya menggeliat kesakitan. Bibirnya meloloskan rintihan-rintihan pilu.
"Mas Juna. Mas ...."
Arjuna melebarkan pandangannya, wanita yang ada di video itu sudah pasti mantan istri pertamanya. "Maharani!"
"Mama!" Begitu pun dengan Kaiv yang ikut histeris di samping Arjuna.
Walau sedikit jauh dari posisi ranjang, tapi video yang mengambil angle dari samping itu sangat cukup untuk membuat keluarga Arjuna melihat bahwa Maharani sedang menjalani proses persalinan normal.
Wanita itu membuang banyak sekali tenaga. Keringat tampak melumuri kulit pucat pasinya. Teriakan pilu yang menandakan bahwa ia kesakitan terdengar begitu menyedihkan. Bulu kuduk Arjuna dan Kaiv meremang menyaksikan itu.
Dokter yang menangani terlihat kesusahan mengeluarkan bayi dari kandungan. Suara-suara yang menguatkan, meminta Maharani untuk terus berjuang dan berusaha bertahan, jeritan Maharani, semuanya saling susul menyusul.
Hingga akhirnya, dokter terlihat tersenyum ketika tangisan bayi terdengar begitu nyaring. Maharani berhenti menjerit, tapi sebagai gantinya wanita itu menangis.
"Selamat Bu Rani, bayinya laki-laki. Dia normal dan tampan sekali, Ibu sangat beruntung."
Di sela kesakitannya, Maharani tampak tersenyum. Tangan lemasnya terangkat, minta didekatkan dengan bayi yang baru saja ia lahirkan. Tepat ketika Karan sudah di hadapannya, wanita itu sepertinya tak sadarkan diri.
Keadaan kembali genting. Saat itu pula lah, video yang ditonton Arjuna dan keluarganya terhenti.
"Kak, Papa, ini apa? Ini video apa?" Ragil, walau ia tak tahu apa-apa, tapi dia menangis. Hatinya yang kelewat polos gampang sekali sedih dan ketakutan. Apalagi melihat ayah dan kakaknya tampak tegang dan mengeluarkan air mata hanya demi melihat video seorang wanita yang sedang melahirkan itu.
"Ragil, tolong putar CD yang satunya lagi," pinta Arjuna kepada putra bungsunya.
Seperti tadi, Ragil menuruti, hanya saja, gerakannya kini sedikit tertahan karena ia juga ketakutan. CD itu telah diletakkan di external drive, laptop tampak berdesing sesaat ketika memprosesnya lalu monitor yang menampilkan program pemutar video terlihat menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
General FictionKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...