Dongeng 23 : Teruntuk Gerimis dan Hati Yang Teriris

1.7K 256 17
                                    

Arjuna menghela napas. Matanya nyalang menoleh ke arah monitor EKG dan berganti kepada wajah pucat pasi yang kini ada di hadapannya. Atmosfer malam itu begitu menyeramkan. Ia memang dokter hebat, tapi ia tahu bahwa wajah di depannya sebentar lagi akan berubah menjadi mayat.

Bukan karena ia tak sanggup untuk membuat wajah itu mendapatkan semburat merah jambunya lagi, tapi karena sesuatu yang sedang ia acak-acak di dalam perut yang membuat wajah itu kian meredup.

Benar saja, monitor EKG menimbulkan bunyi nyaring. Beberapa pasang mata dari para asisten dan perawat yang membantu, serta dokter ahli lain yang menjadi partner operasinya kali ini memandang Arjuna dengan was-was.

Arjuna dan rekan-rekannya melakukan upaya penyelamatan sekuat tenaga. Tapi Tuhan berkehendak lain, orang itu meninggal menyisakan banyak jaringan kanker di sekujur tubuh yang akan ikut binasa sebentar lagi.

Rekan Arjuna berkata lantang tapi menyedihkan, menyuarakan waktu kematian seorang pemuda berkulit pucat yang seumur hidupnya harus mengenyam rasa sakit karena hatinya digerogoti kanker. Sudah bertahun-tahun dia bertahan, melakukan berbagai pengobatan, demi mendapatkan kesempatan menikmati waktu bersama ayah, ibu, dan kakaknya sebentar saja.

Tapi ketika ayah, ibu dan kakaknya tersadar dari kebencian semu dan berbalik menyayanginya, pemuda itu malah menyatakan persetujuan operasi dengan presentase selamat hanya kurang dari 10% saja. Jangan salahkan Arjuna dan rekan-rekannya atas kematian pemuda itu. Faktanya, 'pembunuh laknat' itu sudah menjajaki hampir semua organ dalam tubuhnya. Dioperasi atau tidak, hidup pemuda itu memang hanya menghitung jam saja.

"Dokter ...." Salah satu asisten menatap Arjuna dengan khawatir, sementara Arjuna hanya bisa tersenyum di balik maskernya.

Sambil menutup kembali sayatan pada perut pasiennya dan Arjuna berkata pelan, "Nggak papa, Mas. Saya nggak apa-apa. Saya baik-baik aja."

Begitulah Arjuna, semua pasien yang masih muda ia anggap seperti putranya sendiri. Pasien lanjut usia ia perlakukan seperti orang tuanya sendiri. Terlihat tegar, tapi Arjuna adalah dokter yang gampang hancur setiap kali pasiennya tiada.

Seperti sekarang, sepeninggal Jemian. Arjuna hancur lagi.

Arjuna pulang larut lagi hari itu. Setelah operasi besar yang ia lakukan, ia berdiam diri di sepanjang perjalanan. Merenungi betapa banyak  nyawa melayang di tangannya.

"Jun." Harun melirik lewat spion, ia sudah biasa melihat Arjuna yang seperti itu. "Ada yang meninggal lagi, ya?"

Arjuna mengangguk. "Jemian. Anak yang kukira sebatang kara itu ternyata masih punya keluarga lengkap. Tapi dia menderita sendirian selama ini dan aku nggak bisa menyelamatkan dia, Mas."

"Jangan gitu, Jun. Kamu udah melakukan yang terbaik. Kamu itu dokter, bukan Tuhan. Lewat tanganmu Tuhan memberikan pertolongan dan bukan tanganmu lah yang membunuhnya, Arjuna. Kematian itu udah digariskan. Kamu cuma perlu berusaha menjadi dokter yang baik, yang akan selalu menjadi perantara keajaiban dan pertolongan dari Tuhan. Bersemangatlah, Jun. Jangan begini, kamu ini seperti dokter kemarin sore aja."

Arjuna terkekeh lesu. Dokter kemarin sore, ya? Ya, rasa-rasanya kemarin dia baru lulus kuliah, lalu magang, dan menghabiskan waktu bertahun-tahun jadi dokter jaga di emergency room. Lalu sekarang yang sedang merasakan hal itu adalah Kaiv, putra pertamanya. "Semoga Kaiv akan menjadi dokter yang lebih kuat daripada aku ya, Mas. Mohon didoakan supaya seluruh tahapan yang ada bisa Kaiv lewati dengan baik."

Harun mengangguk. "Amin amin. Pastinya, Jun. Kaiv emang bakalan lebih hebat dari kamu. Aku yakin banget."

"Tapi, Mas. Omong-omong, Mas Harun udah berhasil nanya ke Zakki, soal uang tabungannya yang habis itu?"

LOST TALESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang