Dongeng 38: Gerimis Sendu

2.6K 313 36
                                    

Mobil Kaiv baru saja tiba di asrama Lazuardi saat ini. Keempat orang itu segera turun tergesa-gesa. Mereka bahkan tak segan-segan menunjukan air mata yang masih saja meleleh membasahi wajah kepada setiap siswa atau staf asrama yang tak sengaja berpapasan.

"Nayaka Randhira, di mana kamar Nayaka Randhira?" tanya Arjuna kepada petugas lobi asrama. Dia mengetuk-ngetuk help desk dengan tak sabaran. Sementara Ragil dan Kalin mengelilingkan pandangan, berharap bisa melihat sosok Karan di antara siswa-siswa yang berlalu lalang.

"Oh, Karan?" Wanita muda yang mendapat tamu dadakan seperti keluarga Arjuna itu hanya bisa mengernyitkan dahi, ia baru saja mau menjawab ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu masuk.

"Pak Arjuna!" Dia, Dirga, yang berlari tergesa-gesa dengan wajah merah dan napas tersengal. Guru muda itu bertumpu memegangi lutut sejenak ketika tiba di hadapan Arjuna, Kaiv, Ragil, dan Kalin.

"Ini apa, Pak?" Tangan Dirga menjulur menyerahkan sepucuk surat dengan jengkel ke tangan Arjuna. "Ini apa maksudnya, Pak? Anda menghentikan biaya sekolah Karan? Anda menyuruh Karan berhenti sekolah?"

Petir seolah kembali menyambar.

Arjuna terpaku di tempat, dengan gamang ia menerima surat itu lalu membukanya, sementara Dirga berkacak pinggang, melucuti orang-orang dari keluarga Arjuna yang sekarang sangat ia benci.

"Saya nggak paham ada masalah apa di antara kalian. Tapi saya nggak menyangka bahwa keluarga tiri yang jahat benar-benar nyata ada di dunia ini!"

"Pak Guru!" Ragil maju, ia tak terima Dirga bicara seperti itu di depan ayahnya. "Apa maksud Pak Guru sampai bicara kayak gitu?"

"Ragil, kamu tahu? Seharian ini saya mengira bahwa Karan masih dirawat di rumah sakit, ditemani paling tidak oleh salah satu dari kalian. Tapi barusan saja, saya mendapati surat ini di meja! Itu surat Karan yang dititipkan kepada Pak Fajar! Surat itu berisi pernyataan bahwa Karan berhenti dari sekolah mulai hari ini!"

Jantung Kaiv serasa jatuh ke tanah. Pemuda itu tersungkur, menyesali kebodohannya yang membiarkan Karan ditinggal sendiri. Menyesal karena ia harus memanjakan dirinya sendiri, tidur sampai lupa waktu, hingga akhirnya Karan meninggalkannya seperti ini.

"Iv." Arjuna menoleh lemas, ke arah Kaiv, ia menjatuhkan surat dari Karan lalu berlutut di depan Kaiv dengan pandangan kosongnya.

"Saya baru saja mau bilang tadi, bahwa Pak Fajar juga dititipi pesan oleh Karan. Anak itu meminta agar kamarnya jangan dulu dikosongkan. Karena katanya, Kharis pasti akan kembali sebentar lagi. Berita kasus Nicho, Kharis, dan meninggalnya Danu saja sudah membuat kami gempar, Pak. Apalagi sekarang Karan sampai berhenti sekolah tiba-tiba tanpa membawa apa pun dari kamarnya!"

"Nggak! Karan nggak boleh ninggalin kita dengan cara seperti ini. Karan nggak boleh pergi." Kalin menggeleng lemah, ia meraih tangan Ragil, meminta dikuatkan agar ia tidak ikut terjatuh seperti Arjuna dan Kaiv.

"Pa, Kak!" Ragil berseru, meminta ayah dan kakak mengembalikan nalar bahwa sekarang mereka dikejar waktu. Bergerak lebih baik daripada harus mengutuk diri dan menyesal seperti ini. "Kak Karan pasti pulang ke Dieng! Kita harus kesana!"

Benar, air mata Kaiv seketika menyusut. Ia bergegas berdiri bersama Arjuna lalu berlari lagi menuju mobil, yang dikatakan Ragil benar, mereka dikejar waktu. Mereka harus menemukan Karan sebelum segalanya berubah menjadi semakin parah.

"Yang terhormat Pak Dirga.

Ini aku Karan, Nayaka Randhira Satryoga dan ini bukanlah surat formal yang aku tulis untuk hubungan kita sebagai murid dan guru. Aku menulis ini untuk Bapak, sebagai kakakku, sebagai orang tua penggantiku di sekolah.

LOST TALESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang