Hujan pertama di bulan November sudah jatuh semalam. Lagi, untuk kesekian kalinya, Karan tidak menyaksikan dan menikmati hujan itu dengan sang ibu. Sudah biasa memang, tapi tidak bisa Karan pungkiri bahwa penghujung tahun ini rasanya lebih berat dari yang sudah-sudah.
Wanita yang selama ini ia kira ibunya, ternyata bukan. Tampaknya Tuhan ingin menguji kesabaran Karan lebih lama lagi. Harapannya yang sederhana, ingin dibelai oleh ibu menjadi hal yang paling sulit ia gapai.
Sudah jutaan kali Karan mencoba berhenti memikirkan tanda tanya tentang siapa ibunya, sudah jutaan kali pula Karan gagal menghentikannya.
Ada Arlan, ada Arlan, ada Arlan. Itulah yang selalu menjadi penguat hidupnya sekarang. Karan melihat Arlan sebagai seorang pelindung, satu-satunya yang tersisa yang ia anggap sebagai saudara sejati. Karena di diri Arlan, mengalir darah yang sama seperti darah yang ada pada dirinya, darah Prayoga.
Karan menengadahkan wajah. Tangannya mengeratkan jaket berwarna biru yang dia kenakan malam itu. "Dinginnya ...."
Wajar jika Karan mendengkus kedinginan, angin malam itu tumben lumayan kencang. Kurang tiga blok lagi dari tempatnya berada menuju Asrama Lazuardi ketika tiba-tiba Karan berhenti melangkah. Mata tajamnya menyipit, melihat siluet seseorang yang dia kenal baru saja keluar dari salah satu ruko. "Loh? Kak?"
Karan bertekad untuk membenarkan dugaannya. Walau tubuhnya sudah menagih jam istirahat, Karan tak peduli. Baginya ini aneh, jika ia benar, sekarang sudah terlalu malam untuk jam keluar orang yang sekarang sedang ia ikuti dari belakang.
"Kak!" Pemuda itu berseru ketika orang yang dia ikuti berhenti di sebuah halte pemberhentian.
Seseorang itu menoleh terkaget-kaget, ini sudah beberapa kali sejak ia melakukan aksi mengendap-endap keluar dari rumah di malam hari. Tapi baru kali ini dia kepergok oleh Karan di jalan. "Ran ...."
"Kak Zakki?" Karan berlari mendekat, ia menyentuh pundak Zakki dan memindai tubuh kakak tirinya dengan cermat. Meneliti kalau ada apa-apa yang tidak beres. "Ini kamu betulan?"
"Eishh ...." Sekuat tenaga Zakki membuang keterkejutan dari wajahnya. Bibirnya melebar memberikan senyum yang membuat hati Karan menghangat. "Kamu pikir mukaku pasaran, ya? Ini aku lah. Siapa lagi coba yang punya wajah ganteng kayak gini selain aku?"
Karan tersenyum getir, gurauan itu sebenarnya lucu tapi ia tidak sedang merasa dihibur sekarang. Ia justru khawatir karena melihat Zakki masih berkeliaran di luar rumah. "Kamu lagi ngapain? Dari mana?"
Mulut Zakki mengerucut, bibirnya sedikit berkedut. Sejak kejadian dia sakit tanpa sebab, Karan memang berubah menjadi baik. Tapi bonusnya, anak itu suka bersikap seperti seorang polisi jika berada di dekatnya, main interogasi tanpa henti. "Aku ... aku habis ...."
Nyatanya, Zakki bukan seorang kriminal yang pandai berkilah, Karan jadi tak sabar untuk terus menekan. "Tuh, nggak bisa jawab, kan? Jujur ayo kamu habis ngapain?"
"Aku ... aku habis dipalak." Zakki menundukkan kepala. Ia memang sedang ketakutan sebenarnya.
"Hah? Apa?" Karan menjerit khawatir, dia segera membolak-balikkan tubuh Zakki. "Dipalak? Tapi kamu nggak apa-apa kan, Kak? Atau ada yang sakit? Yang mana yang sakit? Ayo coba kasih tahu, ayo jujur ...."
"Karan ...." Rengekan Zakki muncul lagi, dia mengentak-entakkan kaki. Untung jalanan sudah sepi dan hanya ada mereka berdua di halte itu. Jadi ia tak perlu menanggung malu dan takut di saat yang bersamaan gara-gara ulah Karan. "Aku nggak apa-apa. Aku baik-baik aja. Tadi aku niatnya mau main ke asramamu. Mama bikin ayam kecap tadi di rumah, jadinya mau aku antar ke asrama, tapi aku mampir dulu ke Indomaret. Baru inget e-money ku udah nggak ada saldonya. Eh pas udahannya, aku malah ketemu sama preman di deket SD Patal tadi. Sampai seayam kecapnya juga diambil mereka, Ran. Dompet, hp, semuanya diambil. Gimana nih, Ran? Aku harus bilang apa kalau papa nanya nanti. "
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
Ficção GeralKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...