Hari pertama ia terbangun dari tidur di kamar barunya, Karan lalui dengan semangat menggebu-gebu. Anak itu bangun begitu sebelum suara azan Subuh terdengar dari masjid di sudut kompleks perumahan.
Sambil berjingkat semangat, Karan mengambil handuk lalu mandi secepat kilat dengan harapan bahwa setelah itu ia bisa ikut salat berjamaah bersama kakaknya. Tapi, sepuluh menit setelah ia bersiap dengan baju koko terbaiknya, rumah itu bahkan tetap sepi.
Tidak ada tanda-tanda ada yang terbangun, lalu memulai aktivitas. Padahal, saat dia di Wonosobo, ayahnya akan dengan sangat tega memukul pantatnya pakai sapu kalau dia berani tertidur kala subuh menyapa.
Juga, Mbok Lasmi—pembantu di rumahnya—yang pasti sudah kalang kabut di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Prayoga, ayahnya. Kemarin-kemarin, Karan berani berkata bosan akan kebiasaan itu.
Sekali-kali rasanya ia perlu bangun siang. Menikmati tidur dengan mimpi yang indah-indah tentang ibunya. Tapi, kalau sampai Karan berani melakukan hal itu, siap-siap saja ayahnya akan menyiksa.
Tak tanggung-tanggung, sebuah luka baret di punggung dan pantatnya bahkan ada yang membekas sampai sekarang. Karan terlalu banyak dan kelewat sering dipukul. Nakal sedikit, hukuman datang.
Biasanya akan ada Pakde Haryo yang akan membela. Biar beliau cuma anak buah di perkebunan, tapi Prayoga biasanya mau mendengar apa kata Pakde Haryo. Kalau beliau bilang hukuman Prayoga sudah kelewat batas, barulah Karan bisa bernapas lega.
"Seriusan ini masih pada tidur?" Karan celingukan di luar kamarnya. Di sekitarnya, terdapat pintu-pintu kokoh, pintu kamar anak-anak keluarga Arjuna. Sedangkan kamar Arjuna dan Kalin ada di lantai dasar.
Karan akhirnya memberanikan diri menuruni tangga. Ada saklar lampu untuk menerangi langkahnya, tapi dia tidak berani menyalakan. Takut mengganggu yang lain, atau takut membuat boros pemakaian listrik di rumah itu.
Mendengar ada suara-suara di belakang rumah, pikirnya itu pasti Kalin. Kalau memang iya, Karan akan memanfaatkan kesempatan itu untuk temu kangen. Meluapkan rindu yang seumur hidupnya cuma bisa dipendam.
"Bu!" panggil Karan begitu tiba di belakang rumah. Matanya yang biasanya memancarkan sinar yang sayu, pagi itu seolah berbinar.
Tapi lantas binar itu tidak berusia panjang, karena bukanlah sosok Kalin yang ia dapat.
"Eh, sialan!" umpat Ragil. Anak itu sampai menjatuhkan trash bag hitam yang ada di tangannya karena kaget. "Ngapain lo di sini? Mau maling lo, ya?"
Alis Karan bertaut tidak mengerti. Bukannya yang lebih cocok dikatai maling itu Si Ragil, ya?
"Nggak, aku mau ke masjid. Mau ikut salat Subuh." Karan menggaruk tengkuk, tapi atensinya masih tertuju pada buntalan trash bag hitam yang kini dipungut lagi oleh Ragil.
"Kamu mau salat Subuh?"
Ragil gagal berlalu. Hari masih gelap, belum ada jam lima pagi soalnya. Seharusnya ini kesempatan yang pas untuk melancarkan aksi. Tapi tampaknya harus terganggu gara-gara kehadiran Karan. "Nanti, gue salat sendiri aja habis buang sampah."
"Itu sampah apa?" Karan mengacungkan telunjuknya. Rasanya aneh melihat Ragil salah tingkah. Anggota keluarga yang lain saja masih pada tidur, ini Ragil malah sudah bangun dan mau buang sampah. Antara kelewat rajin atau menyembunyikan sesuatu sih pasti.
"Kepo banget sih lo ah!" Ragil mengangkat bogemnya ke udara. Tidak memukul, hanya berusaha memberitahu Karan kalau dia itu sudah mulai bete. "Lo kalau mau ke masjid ke masjid aja sana! Nggak usah ikut campur urusan gue!"
Karan menggeleng. Dia semakin yakin kalau Ragil menyembunyikan sesuatu. "Itu sprei kasur, ya?" tunjuknya saat tanpa sengaja ada bagian dari kain itu yang menjuntai keluar. Rupanya, gerakan tangan Ragil tadi membuat trash bag itu goyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
General FictionKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...