Zakki kehilangan konsentrasi belajarnya hari ini. Bukan karena ia sakit lagi. Tidak, ia sudah sehat. Sangat sehat. Tak ada yang salah dengan jantungnya ataupun dengan bagian tubuhnya yang lain.
Hanya saja, sejak ia masuk ke sekolah tadi pagi, telinganya menangkap omongan tak mengenakkan dari sekeliling.
Siswa-siswa seangkatannya bergunjing di seluruh sudut. Setiap kali dia mendekat atau lewat, mereka menyingkir seperti alergi terhadap keberadaan Zakki.
"Jo." Zakki mendekati sahabatnya yang kini sedang duduk di bangku Karan. Numpang tidur di sela-sela jam istirahat.
"Hmm ...." Joshua membalas ogah-ogahan.
"Lo tahu nggak ini semua ada apa, ya? Kok kayak aneh, sih? Kenapa anak-anak kok kayak musuhin gue dari belakang, ya?"
"Mana gue tahu." Joshua masih enggan beranjak, ia tetap duduk tertelungkup menghadap jendela, membelakangi Zakki. "Sekarang lo diem coba, Kak. Gue ngantuk banget. Jadi sana, pergi bentaran aja jangan deketin gue. Cari kesibukan apa kek. Asal jangan gangguin gue."
Zakki tertegun. Joshua juga berbeda dari biasanya.
Anak itu menghela napas. Dia semakin yakin bahwa sesuatu sudah terjadi. "Jo, please, Jo. Kasih tahu gue. Gue nggak ngerti apa-apa, gue nggak suka kayak gini."
"Kak Zakki!" Joshua berdiri sebal sambil menggebrak meja. "Gue ini lagi sakit kepala tahu! Pusing banget! Jadi berhenti gangguin gue. Berhenti apa-apa gue, apa-apa gue. Kalau boleh jujur, gue bosen. Gue bosen banget!"
"Joshua, lo ...." Zakki tak tahu lagi apa yang sedang terjadi di sekitarnya, termasuk dengan kelakuan Joshua, sahabat pertamanya sejak ia masuk ke sekolah menengah atas.
"Nggak usah ngerengek! Lo itu harusnya sadar umur, lo itu lebih tua dari gue tapi manjanya minta ampun! Sekali-kali tuh ngaca, jangan bertingkah seolah-olah lo ini adik yang harus gue jaga terus. Gue juga punya masalah hidup sendiri. Nggak selamanya gue bisa jadi tong sampah di hidup lo. Ngerti?"
Joshua beranjak pergi. Meninggalkan Zakki yang kini tertegun di tempatnya. Menjadi tontonan dari teman-teman di kelasnya. Termasuk Bagas dan Dio yang juga diam saja. Tidak membela atau bagaimana.
"Lo pengen tahu apa sebabnya, Kak?" Dio akhirnya berdiri dan menghampiri Zakki. Menepuk pundak pemuda itu dan memintanya untuk duduk sambil menenangkan diri.
"Ada kabar buruk yang berembus tentang lo, Karan, dan keluarga lo, Kak."
"Apa?" Zakki menatap Dio dengan tak mengerti. "Kabar apa?"
"Kemarin-kemarin, Karan berangkat lo nggak. Sekarang, lo berangkat Karan yang nggak. Karan juga udah pindah dan tinggal di asrama. Lo tahu? Anak-anak pada ngecap lo sebagai kakak tiri yang mengerikan, Kak. Lo nendang Karan dari rumah, lo yang bikin dia tinggal di asrama. Parahnya lagi, seseorang denger percakapan lo sama Karan pas di perpustakaan tempo hari.
"Mereka terlalu sedih denger kalau alasan Karan memperburuk tingkah dan nilainya akhir-akhir ini hanya karena dia ingin ngejagain perasaan lo."
Zakki menggeleng ketakutan, dia meraih tangan Dio dan berdiri gamang. "Nggak! Itu semua nggak bener. Itu semua udah lewat. Gue sama Karan bahkan udah rukun sekarang. Kita udah baikkan. Gue, gue kemarin sakit. Gue kambuh dan Karan yang bikin gue sembuh. Gue sama dia udah baikkan. Sumpah."
Baru saja Dio hendak membuka mulut, segerombol siswa dari kelas lain memasuki kelas Zakki sambil berdecak sebal. "Oh, ini dia si kakak tiri jahat itu!"
Entah siapa yang berseru, Zakki tidak kenal. Selama ini dia memang anti sosial, tidak mudah bergaul dan pilih-pilih teman.
"Lo sama keluarga lo itu sebenarnya manusia-manusia yang hatinya terbuat dari apa, huh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
General FictionKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...