"Ya, Allah, aku minta maaf. Aku udah tumbuh jadi anak yang nggak baik dan nggak berguna buat siapa-siapa."
Masjid megah itu diam saja. Tak ada ustaz, tak ada siapa-siapa, tak ada orang lain selain Karan yang sedang mendudukkan tubuhnya di deretan shaf paling depan.
Matanya terpejam, kedua tangan kurusnya bertautan, menengadah di depan dadanya. Deru napas yang saling berkejaran sedikit menggema. Membuat Karan semakin merasa sendirian.
Di depan sana, hanya ada mimbar imam dan lafaz Allah yang membalas tatapannya. Karan tersenyum, ia selalu mencoba untuk tersenyum bagaimanapun keadaannya. Ia bisa saja berubah menjadi vampire yang ketus untuk orang-orang yang dulu senang mencibirnya, atau dengan orang-orang yang terasa seperti teman tapi ternyata bukan, tapi dengan Tuhan, Karan bukanlah apa-apa. Karan tak mungkin menggertak Tuhan, karena semarah apa pun dia dengan keadaan, ia selalu membutuhkan Tuhan.
"Jangan marah sama aku, aku mohon." Karan terisak, bibir pucatnya tak bisa ia mainkan dengan leluasa seperti biasa. "Aku udah capek banget, beneran. Udah capek banget. Nggak bohong, di sini capek banget."
Karan menghela napas, ia lantas tersenyum, dan berkata, "Berikan aku keajaiban sedikit aja, ya Allah? Aku mohon. Aku udah sering banget ngerasain sakit, aku pasti akan menjadi orang yang sangat bersyukur ketika Kau membiarkan aku bahagia walau cuma sebentar aja."
Kepala Karan menoleh ke kanan dan ke kiri. Malam ini terasa senyap, membuatnya takut. Seolah-olah kesunyian itu akan menelannya hidup-hidup. Mengubahnya dari manusia penuh luka menjadi bangkai tanpa nama.
"Aku takut." Isakan Karan terdengar lagi. "Berikan aku satu petunjuk tentang ibuku, ya Allah. Aku berharap sekali kepadanya. Aku berharap banget ibu mau datang dan menyelamatkan aku. Aku butuh teman, aku butuh orang tua. Ayah selalu bilang bahwa Kau adalah sahabat dan orang tua terbaik untuk semua manusia, tapi aku ingin dipeluk, ya Allah. Sedangkan Allah kayak nggak pernah meluk aku. Pelukan-Mu cuma bisa aku rasain di hati, tapi aku butuh pelukan yang pasti. Aku butuh ibu yang hangat, yang pelukannya bisa aku sentuh dan aku rasa."
Karan menunduk. Tangannya luruh terjatuh. Tubuhnya mulai goyah. "Lihat, aku butuh bantuan-Mu, ya Allah. Aku kesakitan sekarang. Buktikan perkataan ayah!!" Rasa sakit itu sudah tidak bisa ditolerir lagi. Karan mencengkeram karpet masjid yang sedang ia duduki, tapi nyatanya pegangan itu tak cukup untuk menahan tubuhnya agar tetap duduk tegap dan melanjutkan doa.
Tubuh Karan roboh, terjatuh di pelukan masjid yang begitu dingin. "Buktikan bahwa Kau adalah sahabat yang paling baik untukku. Aku belum mau mati kalau Allah mau tahu. Aku harus bertemu dengan ibuku!"
Karan terbatuk selama beberapa saat. Napasnya mulai memendek. Terdengar tak beraturan. Rasa sakit yang bersumber dari perutnya itu lama kelamaan semakin menggila. Pemuda itu mencoba menahan diri untuk tidak mengerang atau mengeluh. "Aku pengen banget memaki-Mu atas cobaan ini. Tapi, bolehkah aku mengajak-Mu bertaruh sekali saja, ya Allah?"
Senyum perihnya merebak ke arah mimbar di depannya. Tangannya ingin menggapai, tapi sakit di perutnya tak mengalah. Akhirnya, tangan kurus nan pucat itu kembali lagi, menekan perutnya seperti ia menekan perasaannya selama ini.
"Allah pasti tahu ini rasanya sangat menyakitkan. Aku pengen banget nyalahin semua ini ke orang lain, ke Allah yang nggak pernah membiarkanku merasa bahagia. Ayo kita bertaruh, ya Allah. Aku bakal menahan rasa sakit ini, menerima semuanya tanpa mengeluh atau memaki. Aku akan mencoba menjadi anak yang baik hingga akhir. Kalau aku berhasil bertahan tanpa mengeluh dan berkata kasar, Allah harus bantuin aku untuk yang terakhir kalinya, hm? Pertemukan aku dengan ibuku, ya? Ayo kita bertaruh untuk itu ...."
Karan terdiam, bibirnya ia gigit sedemikian rupa. Malam ini, bisa saja menjadi malam terakhirnya hidup sebagai Nayaka Randhira Satryoga. Tapi, ia tak akan berhenti untuk terus melakukan berbagai cara untuk bertemu dengan ibunya. Kendati dia harus mengajak Tuhan bertaruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
Fiksi UmumKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...