Niat hati ingin turun, mengambil air karena haus. Tapi langkahnya harus terhenti tatkala mendengar ada suara riuh dari arah dapur. Karan terdiam di bibir anak tangga teratas. Enggan berbalik, enggan melanjutkan.
Suara Ragil yang tertawa karena diusili Kaiv dan Arlan begitu menyenangkan. Juga suara Zakki yang terdengar lepas. Tapi yang menjadi fokus Karan saat ini adalah suara bahagia milik Arlan, kakaknya.
"Hidupmu pasti bahagia banget ya di sini, Mas?" Karan menggumam dalam diam. Tanpa sadar dia menyandarkan tubuh ke tembok, lalu luruh, dan duduk di anak tangga. Masih enggan Karan bergerak, terlalu larut dia meresapi kebahagiaan di rumah itu.
Berpura-pura bahwa hidupnya juga sebahagia itu selama ini. Padahal nyatanya tidak.
"Kalau lagi ngumpul kayak gitu, mana mungkin Mas Arlan inget sama aku?" Karan terkekeh.
"Mas Arlan punya kakak adik yang sayang sama Mas Arlan di sini. Om Arjuna juga kelihatannya sayang sama Mas Arlan dengan tulus. Udah yang paling bener sih buat Mas Arlan lupa sama aku dan ayah. Rumah ini kelewat sempurna. Hangat. Nggak kayak di Wonosobo."
"Loh, Karan?"
Karan spontan menoleh ke atas. Lalu terkesiap dan berdiri dengan gamang begitu mendapati Kalin ada di sana, di dekatnya, sedang menatapnya.
"Kamu ngapain duduk di sini?" Kalin bertanya lagi.
Sementara Karan hanya bisa menggelengkan kepala. Tumben wanita itu mau bertanya. Biasanya juga tidak. "Bukan urusan Tante, kan?"
Kalin menghela napas, lalu memejamkan mata. "Kamu mau turun, ya? Ayo, turun sama-sama. Kalau mau makan, nanti disiapin sama bibi."
Karan mendengkus kecil. Disiapin tapi sama bibi. Ah Karan lupa, memangnya dia siapa sampai kalau mau makan malam harus Kalin yang siapkan?
"Tante nggak usah repot-repot dan nggak perlu pura-pura baik sama aku, Tan." Karan memutuskan untuk pergi, melangkah menuju kamarnya meninggalkan Kalin yang termangu di ujung tangga.
Kalin tahu, Karan belum makan sejak pulang sekolah. Sekarang pasti anak itu lapar. Rasanya ia ingin segera memperbaiki hubungan. Salahnya kepada Karan begitu banyak. Sampai harus memilih cara apa untuk memulai, Kalin bingung untuk menentukannya.
Terlalu malu.
***
Kalin baru saja membukakan pintu untuk Arjuna dini hari itu. Sebagai dokter, Arjuna memang sering pulang kelewat larut, bahkan tak jarang ia pulang pagi karena tuntutan pekerjaan.
Arjuna berjalan lunglai sambil melepas beberapa kancing kemeja, tangannya menjulur memberikan tas kerja untuk dibawa oleh sang istri.
"Zen, Lin. Anak 19 tahun yang sakit kanker otak yang aku ceritain sama kamu, baru aja meninggal jam 11 malam tadi, Lin," keluh Arjuna kepada istrinya, membuat tangan Kalin yang baru saja mau menutup pintu berhenti di awang-awang.
"Zen? Temen Zakki kalau lagi opname itu?" Kalin membekap mulut dengan sebelah tangannya, tak percaya dengan kabar buruk yang baru saja ia dengar.
Arjuna mengangguk. "Tapi seenggaknya Zen udah nggak ngerasain sakit lagi kan, Lin? Dia udah nggak perlu kemo dan disuntik lagi. Zen kemarin bilang dia capek minum obat terus. Tapi sekarang dia udah sembuh kan, ya?"
"Iya, Mas. Zen sekarang udah sembuh. Zen udah ada di tempat yang lebih baik lagi di sana." Kalin mendekat lalu mengusap punggung suaminya dengan lembut. Ia tahu benar, Arjuna memang seorang pria yang tangguh. Tapi setangguh-tangguhnya seorang Arjuna, suaminya itu selalu merasa sedikit terpuruk ketika salah satu pasien yang ditanganinya berakhir meninggal. "Jangan bersedih dan jangan nyalahin diri kamu, Mas. Kamu udah melakukan tugas kamu, kamu udah melakukan yang terbaik buat Zen selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
General FictionKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...