Dongeng 3 : Tidak Ada Yang Tidak Butuh Perjuangan

4.8K 681 48
                                    

Ini aneh dan membuat kesal.

Karan merasa menjadi parasit di rumah Arjuna. Ibunya juga sangat tega. Berkali-kali ada kesempatan berdua, wanita itu pasti kabur begitu saja. Karan ditinggalkan, diabaikan. Seolah sebentar saja melihat Karan, Kalin akan keracunan.

"Bu, ayah dimakamkan di deket Telaga Merdada. Dulu pas ayah masih sehat dan masih bisa ngomong, ayah selalu bilang kalau ayah sayang dan cinta banget sama Ibu," kata Karan sore itu.

Hanya ada dia dan Kalin di rumah. Ragil dan Zakki masih sekolah. Kaiv dan Arjuna masih di rumah sakit, dan Arlan pasti masih ada di kantor.

"Ran, nggak usah bahas ayah kamu lagi. Itu semua udah lama berlalu. Ibu pergi juga karena ayah kamu."

Karan menunduk sambil menggigit bibirnya. Sementara Kalin yang tadinya sedang duduk di sofa sambil membaca majalah kini menghela napas. Secangkir teh yang ada di meja ia ambil. Disesapnya teh itu perlahan.

Atensinya bahkan seolah tercurah untuk uap tipis dari cangkir itu saja. Tidak pada Karan yang duduk tak jauh darinya.

"Tapi, kalau Ibu segitu bencinya sama ayah, kenapa Karan ngerasa kalau Ibu juga benci sama Karan, Bu?"

Napas berat dan jengah Kalin terdengar. Karan mengangkat wajah, berharap mendengar bahwa ibunya akan melakukan pembelaan.

"Karan, ibu nggak benci sama kamu. Ibu cuma nggak punya perasaan apa-apa buat kamu. Kamu ngerti, kan? Ibu bahkan nggak pernah ngasih kamu ASI. Ibu nggak pernah mengasuh kamu, merawat kamu. Kita nggak pernah sama-sama, Ran."

Wajah putih Karan tampak murung mendengarnya. Apakah mentang-mentang dia tidak disusui Kalin lantas itu semua bisa menghapus fakta bahwa dia juga anak dari Kalin?

Kalin berdiri dari tempatnya. Lalu pergi melewati Karan sambil mengusap kepala anak itu sekilas.

Begitu Kalin pergi, Karan menangis.

Cengeng memang. Tapi, itu wajar. Siapa orangnya yang tidak sedih saat sang ibu tidak mau menyayangi dan mengakui? Lalu terang-terangan bilang kalau di antara mereka tidak ada perasaan dan hubungan apa-apa.

Karan ikut berdiri dari sofa. Lalu pergi ke kamarnya. Pintu kamarnya ia banting keras-keras. Sementara Karan langsung duduk memeluk lutut di samping ranjang.

Karan masih punya ibu. Tapi Karan merasa seperti yatim piatu.

***

Sebelum meninggal, ayah memberinya sebuah kotak dengan balutan renda-renda cantik berwarna putih. Katanya, ia harus menunjukkan kotak itu ketika ia datang ke rumah ini. Untuk jaga-jaga kalau tak seorang pun mengenali sama sekali. Ayahnya bilang, kotak ini akan membuktikan bahwa ia adalah putra dari si empunya rumah.

Tapi kemarin, belum juga ia menunjukkan kotak itu ternyata yang membuka pintu untuknya adalah sesosok wanita cantik yang fotonya bertebaran di dalam lemari kamarnya. Kalina Hani, ibunya.

Karan tidak harus menunjukkan kotak itu. Ia bahkan tidak tahu apa isi dari kotaknya. Ia hanya langsung menyerobot masuk ke dalam pelukan Kalin. Sayangnya, pelukannya hanya bertahan selama sepersekian detik karena wanita itu, melepaskan dirinya dengan kasar. Tidak memahami isi hati Karan yang koyak mendapati perlakuan itu.

Setelah belasan tahun tidak bertemu, yang ada di kepala Karan adalah perlakuan lembut dari ibu. Tapi nyatanya, impiannya terlalu muluk-muluk. Entah untuk alasan apa, ibunya justru terang-terangan tidak menyukai kehadirannya, bahkan lantas meninggalkannya begitu saja di ambang pintu.

LOST TALESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang