BAB 3 [Minta Maaf]

2K 208 10
                                    

Saras begitu panik mendapati keadaan Adwan yang menggigil hebat, disertai badannya yang panas juga.

"Sayang, kita ke rumah sakit ya," ucapnya panik dan memburu.

Terlihat Adwan yang menggelengkan samar kepalanya, pertanda ia tidak mau dibawa ke rumah sakit.

"Wan, tolong! Aku gak tau gimana cara ngobatin kamu kalau panasnya tinggi begini, aku takut," kini pipi Saras sudah dibanjiri air matanya. Serta Aryan di gendongannya juga terlihat sedih dan takut.

"Gak usah, sayang. Kamu kompres aja ya, palingan 1 jam atau 2 jam bakal turun panasnya," lirih Adwan dengan seutas senyum paksa di bibirnya, berusaha terlihat tegar agar istrinya tidak panik berlebihan.

"Kalau gitu aku telpon Dokter pribadi kita aja ya, sayang," Saras tetap bersikeras agar suaminya dapat perawatan yang lebih tepat.

Namun lagi-lagi Adwan menggelengkan pelan kepalanya, "Aku maunya dirawat istri aku, gak mau disentuh tangan siapa-siapa."

Hm, Saras bisa berkata apa lagi jika suaminya sudah berkata demikian. Dengan raut wajah panik yang benar-benar kalang kabut, ia pun mencoba menuruti keinginan suaminya.

"Yaudah, tunggu bentar biar aku ambil kompresannya," ucapnya tak menentu, bersamaan dengan ia yang mengusap kasar wajahnya. Kemudian berjalan secepat kilat ke luar kamar untuk mengambil perlengkapan yang dimaksud barusan.

Hanya sekitar 3 menit, Saras sudah kembali lagi ke kamar dengan membawa wadah berisi air biasa beserta alat kompresnya. Dan ada juga kotak obat yang ia pegang di tangannya. Sementara Aryan begitu tenang di gendongannya, seolah tidak ingin menambah beban pikiran Mamanya.

Tanpa tunggu lama, ia pun langsung mengompres kening suaminya. Berharap panasnya segara turun.

"Sayang, aku masak bubur bentar ya biar kamu bisa minum obatnya," ucapnya begitu lembut setelah mengompres beberapa kali.

"Jangan lama ya, sayang," balas Adwan dengan tatapannya yang begitu redup.

Tampak Saras yang meraih tangan suaminya, seraya melebarkan senyum di wajahnya, "Iya, sayang. Bentar aja kok."

"Aryan tinggalin disini aja, Ras."

"Jangan, sayang. Takut dia malah nakal."

"Yaudah, aku turun bentar yah," sambungnya, dan segera beranjak.

Adwan pun menurut saja, sembari menatap istrinya yang semakin hilang di pandangan.

.....

10 menit kemudian,

Saras sudah selesai memasak bubur, dan sekarang sudah berada di kamar.

"Mau duduk, sayang?" tawar Saras yang hendak menyuapi Adwan makan.

"Boleh, Sayang," balas Adwan masih lemas saja.

"Oke, sini aku bantu," Saras pun segera membantu suaminya untuk duduk bersandar di kepala ranjang.

Segera setelah itu, ia langsung menyuapinya makan.

Entah kenapa binar matanya begitu sedih memperhatikan suaminya yang sedang makan. Apa iya dia teringat perlakuan kasarnya semalam?

"Ya Allah, kasihan suami aku. Ternyata matanya berat sedari kemarin karena mau sakit begini. Bukannya memperdulikannya, malah aku memarahinya sesuka hati,"

Benar saja, Saras membatin sesal, bersamaan dengan air matanya yang jatuh tanpa sepengetahuannya.

"Sayang," panggilnya tiba-tiba, sembari menghapus cepat air matanya agar tidak dilihat Adwan.

Adwan menoleh dengan tatapan sayunya, "Iya, sayang?"

"Aku minta maafff!"

Tiba-Tiba Saras berdiri dari kursinya, lalu menangis mengangguk di kaki Adwan.

Tentu saja Adwan terkejut dengan situasi itu, "Sa-sayang, kamu kenapa?"

Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, malah tangisan Saras semakin menjadi.

"Hei, kenapa, sayang? Coba cerita, jangan buat aku takut begini," tanya Adwan lagi, jadi cemas pastinya.

"Aku minta maaf, sayanggg... minta maaf. Aku udah bersikap kurang ajar kemarin sama kamu. Aku udah gak sopan, aku durhaka sama kamuuu!"

Yang benar saja, Saras menangis tersedu-sedu di kaki Adwan. Sebegitu bersalahnya ia rasa dirinya kemarin. Wajar memang, karena sudah sedari dulu ia begitu memuliakan suaminya. Mungkin karena faktor capek saja, hingga dia bersikap seperti kemarin.

"Sayang, udah hei," tentu saja Adwan jadi tak enak.

"Gak, aku gak bakal berdiri sebelum kamu jawab permintaan maaf aku."

"Ya Allah, sayang. Aku gak pernah anggap kamu salah atas kejadian kemarin. Justru aku senang lihat kamu yang begitu tulus sama anak kita," ucap Adwan dengan mata berkaca-kaca, bersamaan dengan ia yang mengusap lembut kepala Saras.

"Tapi aku jahat banget sama kamu, sayang. Aku udah jadi istri durhaka."

Adwan jadi merasa lucu mendengar Saras yang mengatai dirinya sendiri istri durhaka sedari tadi.

"Udah sayang, jangan nangis lagi. Kamu itu istri paling baik, paling hebat, paling cantik, paling segala-galanya di dunia. Jadi jangan sebut diri kamu istri durhaka, aku gak suka dengarnya."

"Tapi, sayang. Aku udah gak sop....,"

"Shutt, kamu percaya sama aku kan?"

"Huwaaa, Mam-maaaa," tangisan Aryan melengking tiba-tiba. Tentu saja karena melihat orang tuanya yang menangis.

"Udah sayang, duduk lagi. Kaki Aryan sakit kayaknya kamu berlutut gitu."

Mendengar lontaran Adwan, barulah Saras mau berdiri dari kaki suaminya itu. Dan tak berapa lama setelah itu, Aryan pun terdiam kembali.

"Kamu minum obat dulu ya sayang, biar panasnya cepat turun, sama kepalanya gak sakit juga," ucap Saras kemudian, sembari membuka kotak obat yang ia bawa tadi.

Tanpa tunggu lama, Adwan pun segera meminum habis obat itu. Karena ia tak ingin berlarut-larut dalam sakit, yang tentunya akan membuat istri dan anaknya sedih.

"Kamu mau tiduran lagi, sayang?" celetuk Saras setelah Adwan selesai dengan semuanya.

"Nanti aja, sayang. Aku masih nyaman kayak gini," balas Adwan sembari melempar senyum manis.

"Yaudah, sayang. Nanti kalau udah ngantuk bilang sama aku yah."

"Iya, sayangku."

"Sayang, kesiniin Aryan dong, aku kangen banget," sambungnya, seraya menatap Aryan di gendongan Saras.

Saras sontak merasa tak menentu, karena merasa bersalah sudah memisahkan suaminya dan anaknya tadi malam.

"Oh iya, ini sayang," ia langsung melepas Aryan dari gendongannya, dan mendirikannya di ranjang.

"Pap-paaa," secepat kilat Aryan menyambar ke pelukan Papanya, terlihat begitu riang.

"Aduh, anak Papa. Kangen gak sama Papa?" Adwan balas memeluk gemas anaknya.

"Eum...Eum," Aryan menganggukan riang kepalanya, sebagai jawaban atas pertanyaan Papanya.

"Sama dong, Papa juga kangen banget sama anak ganteng Papa."

"Kalau Mama kangen gak sama Papa," lanjut Adwan, sempat-sempatnya bercanda.

Saras langsung tersenyum sipu menatap Adwan, "Kangen dong, kangen banget malahan."

"Sini peluk, sayang," balas Adwan riang.

Hugh,

Saras langsung menyambar ke pelukan suaminya. Aryan peluk sebelah kiri, dan ia peluk sebelah kanan. Hm, manis sekali.


Vote dan Komen!

Mas Santri, I Love U 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang