Hantaran sore yang terik. Di saat bayangan telah memanjang, dan sinar jingga mulai samar terlihat. Sekitar pukul setengah lima sore sekarang.
Isyafa dan kedua orang tuanya sudah berada di RSJ tempat Wulan dirujuk. Sedangkan Adwan dan Saras memilih tidak ikut menjenguk, bahkan terkesan enggan melihat Wulan.
Tanpa tunggu lama, Isyafa dan kedua orang tuanya langsung masuk ke dalam untuk melihat keadaan Wulan.
Sebenarnya mereka juga tidak ingin lagi terlalu menjalin hubungan dengan penjahat seperti Wulan, hanya saja papanya Adwan merasa iba karena keluarga Wulan semuanya lepas tangan, sedikit pun tak mau tahu tentang putri mereka itu lagi. Dan papa Adwan sebagai pimpinan ponpes yang pernah Wulan tempati, tentu saja merasa masih punya sedikit hubungan.
Saat mereka hendak sampai ke kamar rawat Wulan, tiba-tiba...,
"Papaaa," terdengar suara yang sangat akrab di telinga memanggil.
Seluruh keluarga pun menoleh ke sumber suara, dan tak disangka menampakkan wajah Adwan dan Saras, serta Aryan juga yang ada di gendongan Saras. Ketiganya memakai baju yang senada, warna putih.
"Tunggu kami," ucap Adwan, sembari terus berjalan menghampiri keluarga.
"Loh, Wan. Katanya tadi kalian gak bisa ikut, makanya kami berangkat tanpa mengabari lagi," tutur sang papa saat anak dan menantunya sudah berdiri di hadapannya.
"Iya, Pah. Tapi Adwan merasa gak enak kalau gak ikut, makanya kami paksain aja."
"Apanya yang gak enak, Gus? Sama sekali gak ada yang salah, sekali pun kalian milih gak ikut."
Adwan tampak menggaruk bingung kepalanya yang tak gatal sama sekali, "Eum, i-iya juga sih pah. Intinya pengen ikut aja."
"Tapi kamu lagi sakit, Wan. Apa gak lemas jalan ke sini tadi?" celetuk Isyafa dari samping dengan wajah khawatir.
"Sakit apaan, cuma meriang, kak," Adwan malah membantah, padahal sudah jelas pagi tadi ia menggigil hebat disertai badan panas.
"Sudah, ayo buruan kita lanjut. Ini bentar lagi udah mau maghrib," sang Mama turut buka suara juga.
"Eh, iya. Ayo semua," ucap sang papa.
Aneh, kedua orang tua Adwan tampak tak mengkhawatirkannya sedikit pun. Bahkan tak ada juga menanyakan kabarnya tadi. Padahal biasanya mereka akan cemas luar biasa jika mendengar kabar putra mereka itu sakit, walaupun hanya sekedar sakit kepala biasa.
Selain itu, mereka juga tidak menegur Saras sama sekali. Jangankan Saras, bahkan cucu mereka yang sangat mereka banggakan itu pun tidak ada mereka tegur. Padahal biasanya mereka sampai berebut untuk menggendong Aryan.
Tap,
Kini mereka sudah berdiri tepat di kamar rawat Wulan.
Tok,
Tok,
Mama Adwan mengetuk pintu kamar rawat, karena dari luar pintu terlihat samar jika ada seorang petugas yang sedang bertugas di dalam.
Suasana sekitar juga tampak sepi, tidak banyak pasien yang berkeliaran. Entah kemana mereka perginya di jam segini, karena di luar pun tadi hanya beberapa orang yang terlihat, sedang asik bermain sendiri.
Ceklek,
Pintu terbuka, dan menampakkan petugas wanita berusia paruh baya dari baliknya.
"Halo, ada keperluan apa?" sapa petugas itu dengan sopan dan sedikit senyum di wajah.
Langsung saja mama Adwan maju menghadap si petugas, "Halo, Bu. Kami dari keluarga pasien."
"Oh, keluarga pasien ya!" balas petugas itu bersemangat. Entah kenapa wajahnya langsung berubah menjadi riang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Santri, I Love U 2
Teen FictionLanjutan kisah dari cerita Mas Santri, I Love U 1