BAB 4 [Rumah Syaqib]

1.9K 181 16
                                    

Tutt...,

Tutt...,

Bunyi hp yang menghubungkan. Dan terlihat seorang laki-laki yang sibuk mondar-mandir di teras rumah. Wajahnya sungguh tak asing di mata. Namun dilihat dari gelagatnya, dia tengah mencemaskan sesuatu.

"Halo, Assalamu'alaikum,"

Tiba-Tiba terdengar suaranya yang memburu, rupanya telepon sudah tersambung.

"Wa'alaikumussalam, Zan," terdengar pula balas seseorang di ujung telepon sana.

"Qib, Vanya ada di rumah gak?" lanjut laki-laki yang mondar-mandir tadi.

Ternyata yang menelpon itu adalah Fauzan, sedangkan yang mengangkat telepon adalah Syaqib. Hm, rupanya hubungan pertemanan mereka masih awet sampai sekarang. Namun, kenapa Fauzan menanyakan istri orang? Dia juga kan sudah menikah.

"Kenapa kamu, Zan. Datang-Datang nanya bini orang,"

Benar, Syaqib tentunya merasa aneh dengan pertanyaan temannya itu.

"Ck.., bukan gitu loh. Maksud aku nanyain Vanya karena Tania gak ada di rumah. Nah, siapa tau mereka lagi jalan bareng, gitu."

"Lah, emang Tania gak ada izin ke kamu atau apa gitu?"

"Ada, dia bilangnya mau belanja bentar aja. Tapi sampai sekarang belum pulang-pulang. Aku telepon pun mati hp-nya."

"Haha!"

Tawa renyah Syaqib tiba-tiba menyapa dari ujung telepon sana.

Tentu saja Fauzan terheran mendengarnya, "Lah, kenapa? Gak ada yang lucu juga kan."

"Gini, Zan. Tania lagi ada di rumah kami sekarang, dia sama Vanya lagi asik masak di dapur. Dan kayaknya yang mereka masak di dapur itu barang belanjaan yang Tania maksud tadi, soalnya aku gak sengaja dengar kalau katanya dia bingung mau masak gimana. Makanya mungkin mereka masak sama-sama jadinya."

"Ya ampun, Taniaaa. Ada aja emang kelakuannya, gak senang kalau gak bikin orang cemas sehari aja,"

"Yaelah, Zan. Namanya juga perempuan."

"Yaudah, Qib. Boleh minta tolong kasihkan hp-nya bentar sama Tania."

"Aduh, Zan. Bukannya gak mau, cuma aku lagi jaga anak aku di kamar, lagi bobo nyenyak dia. Gak mungkin aku tinggal, dan gak mungkin juga aku teriak-teriak dari sini. Kalau gak, coba telepon Vanya aja. Biasanya hp-nya gak pernah jauh dari dia. Atau langsung kesini aja kenapa, Zan. Udah lama kita gak kumpul-kumpul."

"Iya juga sih, Qib. Oke deh, aku kesana. Tapi mau kabari Tania dulu bentar sebelum kesana."

"Oke, Zan. Aku tunggu."

Tutt, sambungan telepon pun diputus.

Dan benar saja kalau Fauzan langsung beralih menelepon nomor Vanya.

Tutttt,

Tak menunggu berapa lama, telepon pun tersambung.

"Iya, Zan. Nyari Tania ya?" ternyata Vanya paham tanpa Fauzan kasih tahu terlebih dahulu.

"Eh, suami aku ya?" sambar Tania yang menguping dari samping.

"Nihhh," Vanya menempelkan hp ke telinga Tania.

"Halo, Sayang," Tania langsung menyapa riang.

"Sayang, kamu kenapa sih gak bilang kalau mau pulang lama. Aku khawatir tau dari tadi. Mana hp kamu gak aktif."

"Maaf ya, Sayang. Aku mau bilang, cuma hp aku keburu mati."

"Terus kenapa gak langsung pulang aja kalau gitu?"

"Aku ketemu sama Vanya di super market, terus kami sepakat deh buat masak bareng. Jangan marah ya sayang, bentar lagi aku pulang nih, tinggal nunggu matang aja biar bisa aku bawa pulang."

"Tunggu disana, aku bakal jemput kamu."

"Sayang serius?"

"Iya, Taniaku sayang."

"Aaaa... Makasih, Sayang."

Tak lama setelah itu, sambungan telepon pun berakhir. Dan Fauzan langsung bergegas menuju kesana.

....

15 menit kemudian,

Fauzan sudah sampai di rumah Syaqib. Setelah bercakap sebentar dengan istrinya, ia pun beranjak menemui Syaqib yang sedang menjaga anak di kamar.

"Widihh, Papa Fahil makin ganteng aja,"

Sapa Fauzan heboh saat melihat Syaqib asik mengamati anaknya yang sedang tertidur pulas di tempat tidur. Bahkan ia sampai lupa mengucap salam.

Sontak, Syaqib menoleh terkejut, "Eh, Fauzan. Udah nyampe aja kamu."

"Ayo, sini," lanjutnya melihat Fauzan yang malah berdiam di ambang pintu.

"Emang gak kerja hari ini, Qib?" tanya Fauzan menambah topik, bersamaan dengan ia yang berjalan menghampiri Syaqib ke tempat tidur.

"Aturannya kerja sih, Zan. Tapi Fahil lagi gak sehat gitu dari tadi malam, makanya aku gak bisa ninggalin dia."

"Loh, Fahil kenapa emang?

"Rewel gitu, nangis mulu."

"Udah dibawa ke Dokter?"

"Udah, kata Dokter gak ada sih memang yang terlalu serius, cuma demam ringan aja."

"Eum gitu, syukurlah kalau gak ada yang terlalu serius."

"Iya, Zan."

"Enak ya kalau udah punya anak, pasti rumah bakal selalu terasa hangat. Terus kalau lagi capek gitu, tinggal lihat dia aja, pasti capeknya langsung hilang," ucap Fauzan tiba-tiba dengan binar matanya yang jelas terlihat sedih.

Tentu saja Syaqib tak enak mendengarnya, lebih tepatnya ikut merasa sedih. Ya, karena sedari Fauzan dan Tania menikah, mereka belum juga dititipkan anak sampai sekarang.

"Nanti kalau udah saatnya, pasti bakal punya juga, Zan. Ingat, Allah tau yang terbaik. Lagiankan ada Fahil, ada Aryan juga. Anggap aja mereka anak kamu," tutur Syaqib terdengar damai, bersamaan dengan ia yang menepuk pelan punggung Fauzan.

Fauzan balas melebar senyum dengan pandangan yang kosong, "Kamu benar, Qib. Nanti pasti ada saatnya. Dan seperti kata kamu juga, ada Fahil dan Aryan yang aku anggap sebagai anak sendiri.

"Nah, gitu dong," Syaqib balas tersenyum, walau sebenarnya ia juga sangat sedih melihat Fauzan yang begitu menginginkan anak.

"Oh iya, Qib. Ngomong-Ngomong soal Aryan, mereka masih pernah gak main kesini atau kalian ketemu dimana gitu?" Fauzan mengalihkan topik kesedihannya.

"Itulah, Zan. Udah hampir sebulan gak dengar kabar mereka. Adwan kayaknya sibuk banget kerja akhir-akhir ini."

"Iya, sama, Qib. Kami juga gak pernah bertukar kabar udah satu bulan ini."

"Atau gimana kalau kita telepon dia sekarang?" ucap Syaqib mengusul antusias.

Namun Fauzan nampak kurang setuju dengan ide Syaqib, "Udah pasti dia lagi kerja, Qib. Takutnya kita ganggu nanti."

"Eum, iya juga ya Zan. Atau gimana kalau besok-besok kita aja yang datang bareng-bareng ke rumah mereka. Ya, tapi harus di hari libur sih," ide Syaqib lagi tiada habisnya.

"Boleh juga tuh, Qib. Kapan kira-kira?"

"Tergantung kondisi Fahil juga ya Zan. Kalau udah sehat total, baru aku bisa pastikan harinya."

"Oke, Qib. Aku ngikut apapun itu."

Hm, andai mereka tau kalau Adwan sedang sakit.


Vote dan Komen!

Mas Santri, I Love U 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang