BAB 2 [Sakit]

2.1K 230 15
                                    

Adwan masih saja tertidur pulas, sementara anaknya sudah sampai ke balkon kamar, bahkan sudah bertepuk kegirangan melihat pemandangan luas di bawah sana. Namanya juga anak-anak, sangat senang dengan situasi yang membahayakannya.

Ceklek,

Pintu terbuka.

Syukurlah, Saras datang tepat waktu. Namun nampaknya badai juga akan segera menyapa.

"Aryan sayang, Mama dat....ang,"

Matanya langsung membulat mendapati pemandangan di hadapannya. Ya, hanya ada Adwan yang tertidur pulas disitu.

"Benar-Benar gak bisa dipercaya!" Saras berjalan mendekati ranjang dengan emosi meluap-luap.

"Aryannn, kamu dimana Nakkk," teriak Saras dengan raut wajah yang langsung kepanikan.

"Mam-maaa,"

Samar-Samar terdengar suara Aryan dari balkon kamar, sepertinya ia mendengar teriakan Mamanya.

"Aryan, kok....!" Saras terperanjat mendengar suara itu. Dan secepat kilat langsung berlari ke sumber suara.

"YA ALLAH, NAK!!"

Reaksi panik tak terjelaskan lagi darinya melihat Aryan yang sedang berintai-intai di tepi balkon.

"ARYANNN, KAMU NGAPAIN DISINI!" jerit Saras dengan suara bergetar hebat. Bersamaan dengan ia yang langsung berlari merangkul Aryan.

"Mam--ma... Huwaaa,"

Aryan menangis tiba-tiba, sepertinya karena melihat Mamanya yang juga menangis.

"Ya Allah, Sayanggg. Untung kamu gak kenapa-napa," air mata Saras jatuh tanpa sekehendaknya. Bukan lebay, memang begitulah kasih sayang seorang ibu.

"Cup-Cup, Sayang. Jangan nangis, Mama gak marah kok..., gak marah. Lain kali Aryan gak boleh kesini ya Nak, bahaya. Awas kalau bandel lagi, Mama gak bakal temanin Aryan lagi."

"Sayang, kenapa?!"

Tiba-Tiba Adwan muncul dengan raut kepanikan juga di wajahnya.

Saras menatap sini Adwan, kemudian langsung berdiri menggendong Aryan.

"Minggir!" ia menabrak kasar Adwan yang berdiri menghalang di ambang pintu. Sedikitpun tak menghiraukan keberadaan suminya itu.

Terlihat Adwan yang meneguk kasar salivanya, tentu saja ia tahu kesalahnnya.

"Ya Allah, kenapa aku bodoh banget sih! Sekarang harus gimana coba, Saras pasti marah besar," gerutu Adwan sendirian, sembari mengusap kasar wajahnya.

"Sayanggg, aku benar-benar min...,"

"Gak usah ngomong sama kami!" sarkas Saras ketus, dan terus berjalan mendekati pintu kamar.

"Ya Allah, Ras. Aku gak tau kenapa aku jadi sengantuk it...,"

"Ya, aku juga gak nyangka kalau nyawa anak aku hampir melayang di tangan kamu."

Deg,

Kalimat itu benar-benar menusuk hati Adwan, rasanya dunia gelap seketika.

"Sa-sayang, aku tau aku salah. Aku harus ngelakuin apa biar kamu maafin ak....,"

"Gak usah ngelakuin apa-apa, tidur aja sana sampai kiamat!" Saras langsung beranjak murka.

Brakkk,

Ia juga membanting kasar pintu kamar.

Sungguh, tatapan Adwan benar-benar terlihat sakit dan sedih.

"Astaghfirullah...Astagfirullah," lirihnya berusaha menenangkan diri.

***
Jarum pendek menunjuk di pukul 8 malam sekarang, 1 jam berlalu setelah dikumandangkannya adzan isya.

Rumah megah Adwan begitu sunyi malam ini, tak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu dihiasi canda tawa, walau pengisi rumah itu hanya tiga orang.

Kini terlihat Adwan yang sedang berdiri sendu di depan pintu sebuah kamar di lantai bawah.

"Sayang, buka dong pintunya. Masa kamu segitunya sama aku," terdengar suara Adwan yang begitu parau, sepertinya ia menangis.

Rupanya Saras mengunci dirinya bersama Aryan di kamar bawah. Hm, sebegitu marahnya ia ternyata pada suaminya itu.

"Sayang," panggil Adwan lagi, namun tidak ada sahutan sedikitpun. Entah sudah berapa lama ia berdiri disitu, yang jelas wajahnya terlihat sedikit pucat, tatapannya juga redup.

Hampir 3 jam ia memanggil-manggil nama Saras, berdiri mematung di depan pintu. Namun hasilnya nihil, Saras tak luluh sedikitpun.

Akhirnya dengan langkah lesu, ia pun berbalik meninggalkan kamar itu. Memilih kembali ke kamar atas saja, karena nampaknya ia juga sedang tak enak badan.

Sesampainya di kamar atas, ia mencoba merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sembari menatap lamun langi-langit kamar. Hm, pikirannya melayang jauh.

***
Malam berlalu lagi, remang pagi menyapa di luar jendela. Pukul 6 pagi sekarang.

Terlihat Saras dan anaknya yang asik bermain di atas kasur. Aryan memang selalu bangun tiap kali orang tuanya melaksanakan sholat subuh, sehingga bangun pagi menjadi kebiasaannya.

"Pap--pa," ucap Aryan tiba-tiba dengan binar matanya yang tampak sedih, sepertinya ia rindu dengan Papanya. Biasanya di jam segini memang mereka sering bermain di tempat tidur.

Saras nampak menghela napas berat mendengar lontaran Aryan barusan.

"Papa kamu udah sholat belum ya, Nak? Apa kita datangi aja Papa ke kamar? Kasihan, dia udah kita jahatin semalaman."

Seketika Aryan mengangguk riang. Sepertinya memang benar jika ia rindu Papanya.

"Okey, kita ke kamar atas ya sekarang," Saras langsung menggendong Aryan menuju kamar.

Sesampainya disana, ia lekas mengetuk pintu. Namun sudah beberapa kali diketuk, tidak ada yang menyahut.

Merasa aneh, ia langsung inisiatif buka sendiri.

Ceklek,

Pintu terbuka, rupanya tidak dikunci semalaman. Sepertinya Adwan memang sengaja, berharap istri dan anaknya masih akan menyusul.

Mendapati pintu tak terkunci, Saras langsung memasuki ruang kamar dengan perasaan sedikit heran.

Yang benar saja, disana ada Adwan yang sedang memakai selimut tebal. Wajahnya begitu pucat, tubuhnya menggigil hebat.

"Mama.....,"

Terdengar lirih Adwan memanggil-manggil Mamanya dengan suara bergetar karena menahan dingin bercampur sakit.

"Sayang!"

Saras langsung berlari panik menghampiri Adwan.

"Rasss," lirih Adwan setengah sadar. Suaranya terdengar begitu lemah.

"Ya Allah, Sayang! Kok badan kamu panas gini,"

Belum apa-apa, pipi Saras sudah dibanjiri air mata. Jelas saja perasaannya campur aduk, mengingat  sikap jahatnya terhadap suaminya di siang harinya sampai malam harinya.

Vote dan komen!

Mas Santri, I Love U 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang