Episode 2
Happy reading.
Seperti janjinya kepada sang adik, Seojin pun langsung meminta izin ke dokternya, dan syukurlah dokter itu mengizinkan adiknya untuk jalan-jalan di pinggiran sungai Han. Dengan perasaan senang sekaligus bahagia, dia langsung saja keluar dari apartemennya dan berjalan ke halte bus.
Sesampainya dia di rumah sakit, dia langsung saja menuju ruang inap Sangjin. Alangkah terkejutnya ketika melihat ada beberapa suster dan juga dokter berlarian di ruang inap Sangjin. Mereka semua mendorong bangsal yang diatasnya ada Sangjin. Seojin pun ikut mereka, yang membawa adiknya ke ruang ICU. Dia menunggu dengan cemas dan berharap adiknya baik-baik saja.
"Maafkan kelalaian kami menjaga dia, ada seseorang yang ingin membunuhnya," terang suster itu dengan kepala menunduk. Seojin langsung terjatuh terduduk di lantai. Siapa yang melakukan itu kepada adiknya? Dia langsung mengusap air matanya lalu mendekati dokter yang baru saja keluar.
"Dok, bagaimana keadaanya?"
"Kritis, kami akan berusaha semaksimal mungkin," balas dokter itu. Seojin pun langsung duduk di bangku tunggu. Menatap khawatir ke ruangan yang didalamnya terdapat adiknya yang berujung. Seojin hanya bisa berdiam diri dan berdoa supaya adiknya baik-baik saja.
Beberapa saat dia menunggu di depan ruang ICU, Seojin pun langsung menghubungi dosennya tidak bisa ikut kelas. Dia kembali menatap pintu ruang itu. Dokter dan suster pun keluar dari ruangan itu, raut wajah mereka membuat Seojin langsung berdiri. Dia langsung menanyakan keadaan adiknya.
"Maafkan kami, kami semua sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi Tuhan lebih menyayangi dia," ujar dokter itu dengan kepala yang menunduk. Seojin langsung terduduk di lantai, tatapannya yang kosong dengan air mata yang keluar. Adiknya memilih menyerah, dan meninggalkannya sendirian.
Sendirian berjalan ke arah resepsionis rumah sakit, dia membayar semua biaya itu. Seojin pun duduk di bangku yang ada, tatapannya yang kosong tanpa adanya ekspresi di wajahnya. Air matanya yang sudah mengering di pipinya. Seorang suster mendekatinya, memberikan barang-barang yang dimiliki Sangjin.
Lagi-lagi air matanya keluar ketika melihat foto dirinya dan sang adik. Sangjin, sejak berumur 12 tahun mengindap penyakit kanker otak stadium dua. Bertambah parah ketika anak laki-laki itu berumur 15 tahun. Lalu, sekarang Sangjin menyerah di usianya yang baru saja menginjak 17 tahun.
"Nunna tidak akan marah kepadamu, nunna akan terus berusaha untuk mewujudkan impian Sangjin, tunggu ya sayang, nanti Nunna akan memakai seragam dengan segala pangkat yang ada, Nunna berjanji," ujarnya lirih sambil mengusap-usap bingkai foto dirinya dan sang adik.
Suster itu datang lagi membawakan kotak yang tertutupi oleh kain putih yang isinya terdapat abu milik Sangjin. Seojin menerima itu lalu berterimakasih kepada orang itu. Dia pun bangkit, lalu berjalan keluar dari rumah sakit. Hanya kotak besar dan di atasnya terdapat kotak yang ditutupi kain putih.
Selama perjalanan pulang, Seojin selalu mengusap air mata yang keluar menetes membasahi kain yang menutupi kotak itu. Tidak ada upacara kematian untuk adiknya. Hanya Yun-ji yang datang untuk menemaninya, dan juga berkunjung, memberikan ucapan belasungkawa.
"Seojinna, jika butuh seorang bantuan, panggil aku yaa," ujar Yun-ji sambil mengelus kepala Seojin. Wanita itu mengangguk pelan dengan atensinya yang tidak teralihkan dari foto Sangjin.
Beberapa saat kemudian, Yun-ji pun berpamitan untuk pulang. Tinggallah Seojin sendirian. Wanita itu hanya duduk di pinggiran kasur, dengan tatapannya yang kosong menatap foto Sangjin yang digenggamnya.
"Sangjinna, dunia begitu jahat yaa kepada kita, Tuhan lebih sayang kepadamu, Nunna harap kamu berbahagia di sana, Nunna iri, kamu lebih dulu bertemu dengan eomma daripada aku," ujarnya dengan suara yang hampir habis. Dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur dengan memeluk foto adiknya. Menangis dalam diamnya dan berakhir tertidur karena kelelahan menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice ✓
ActionBukan novel terjemahan. Kisah masa lalu yang kelam membuat Seojin harus ekstra sabar dan kuat dalam menghadapi kehidupannya. Pilihan menjadi pelacur bukanlah sebuah masalah baginya, toh keperawanannya memang sudah hilang sejak lama. Bahkan, ketika...