8. Like a Sticker

782 104 8
                                    

Hana sudah siap dengan seragam kantornya yang lagi-lagi tertutup. Sebelum meninggalkan apartemen, wanita itu kembali mengecek area dapur dan kamar mandi. Takut jika dia lupa mematikan kompor ataupun kran air.

"Udah beres. Saatnya kembali ke rutinitas bareng bos sok ngatur!" Gumam Hana, sebelum keluar dari apartemen.

"Selamat pagi!"

Hana terkejut, ketika membuka pintu apartemen dan melihat Satya sudah ada di depannya. Wanita itu hampir saja terjengkang ke belakang, namun Satya lebih dulu menangkap pinggangnya.

"Bapak ngapain di sini?" Tanya Hana, begitu sudah sadar dari rasa terkejutnya, dan melepaskan diri dari rangkulan Satya.

"Jemput kamu." jawab Satya seperti tanpa beban.

"APA!"

Satya menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Kamu nih emang suka teriak-teriak ya? Jangan keras-keras tau, nggak malu emangnya kalo sampe dighibahin sama tetangga apartemen? Masih pagi udah teriak-teriak aja."

Mata Hana melirik sekitar. "Atas dasar apa bapak tiba-tiba dateng, terus bilang mau jemput saya?"

"Seperti yang sebelumnya saya bilang. Saya suka sama kamu, Hana. Jadi, saya putuskan mulai hari ini, saya akan tunjukkan rasa suka saya sama kamu secara terang-terangan. Saya nggak mau lagi menyimpan semuanya sendiri. Buat saya sekarang, semua orang harus tau, kalo saya suka sama kamu! Jadi, kamu nggak boleh suka sama karyawan laki-laki di kantor atau laki-laki manapun, kecuali saya! Dan saya juga melarang kamu buat cinlok sama karyawan laki-laki di kantor ataupun sama semua teman laki-laki kamu, kecuali sama saya! Mulai detik ini juga, saya akan menempeli kamu kayak stiker."

Jawaban Satya membuat mulut Hana menganga tidak percaya. Entah apa yang salah dengan bos-nya pagi ini. Mungkinkah laki-laki di depannya ini salah makan? Atau, laki-laki itu menkonsumsi narkoba di pagi hari, hingga dia menjadi halu seperti sekarang?

"Bapak abis sarapan apa? Bapak salah makan? Kepalanya nggak papa? Abis kebentur sesuatu nggak, sih? Sakit, nggak?" Kedua tangan Hana menggapai kepala Satya guna memeriksanya.

"Nggak ada sopan-sopannya kamu pegang-pegang kepala atasan tanpa permisi." Tegur Satya yang mengelak, ketika kepalanya disentuh Hana. Laki-laki itu bahkan kembali merapikan rambutnya, yang dirasa sedikit berantakan, karena ulah Hana.

"Lagian bapak sendiri tiba-tiba dateng kesini, terus ngomong kayak tadi! Padahal dari kemarin-kemarin bapak nggak gini! Bapak kenapa, sih?"

"Kamu masih muda dan cantik, kok udah tuli? Emangnya kamu nggak denger, tadi saya ngomong apa?"

Kening Hana mengerut tak suka mendengar ucapan Satya. "Saya denger, tapi kan-"

"Bisa nggak, kita langsung berangkat ke kantor aja? Kamu ngomong terus dari tadi! Telinga saya pengang rasanya! Sebenarnya, yang atasan di sini, saya atau kamu? Kok kamu yang lebih cerewet dari saya?" Sela Satya.

"Jelaslah, saya kan punya mulut, dan saya nggak bisu! Gunanya mulut buat ngomong! Lagian bapak tiba-tiba banget dateng kesini, terus ngomong kayak tadi, saya jelas kaget! Saya pikir, bapak abis konsumsi ganja, makanya kalo ngomong jadi ngawur kayak tadi!"

"Kamu tuh, yang konsumsi ganja! Enak aja kalo ngomong! Empat puluh tahun saya hidup, belum pernah saya pake barang kayak begitu! Seenaknya aja kalo nuduh orang!"

"Makanya bapak jangan kayak gini! Bapak bersikap aja kayak biasanya! Saya lebih ngeri, kalo bapak tiba-tiba begini!"

"Enggak! Saya nggak mau bersikap kayak biasanya! Saya mau yang lebih dari biasanya, makanya saya jemput kamu sekarang! Jadi, ayo kita berangkat ke kantor sama-sama! Dan, dari apa yang saya ingat dulu pas masih pacaran, biasanya saya suka berangkat kuliah bareng-bareng sama pacar saya!"

Hana menepis tangan Satya yang hendak menggandengnya. "Enggak! Saya udah biasa nyetir mobil sendiri!"

"Mobil itu punya kantor, kalo kamu lupa! Atau, dengan kata lain, mobil itu punya saya!"

"Iya, saya tau, dan saya selalu inget itu! Makanya, lebih baik kalo saya berangkat sendirian kayak biasanya. Nggak perlu dijemput segala!" Tolak Hana.

"Tapi, saya tetap mau jemput kamu! Karena mulai sekarang, mobil itu udah saya sita!" Tegas Satya.

"Apa! Nggak bisa gitu dong! Bapak jangan seenaknya!"

"Kenapa enggak? Mobil itu emang punya saya! Kalo kamu memaksa, saya akan buat aturan baru! Bahwa siapapun yang memakai mobil kantor tanpa ijin dari saya, akan dikenakan denda, potong gaji, dan nggak dapet bonus tahunan!"

Mata Hana membulat tak percaya, mendengar aturan tak tertulis dari Satya yang tiba-tiba.

"Jadi, berangkat ke kantor sama saya sekarang, atau kamu mau aturan baru itu berlaku mulai detik ini juga khusus untuk kamu?"

Hana memandang telapak tangan Satya yang diarahkan kepadanya dengan perasaan campur aduk. Kesal, marah, dan bingung.

Dengan terpaksa, Hana pun menerima uluran tangan Satya. Membuat laki-laki itu tersenyum lebar.

"Nggak usah senyum-senyum! Nggak ada yang lagi ngelawak di sini!" Dengus Hana kesal.

"Tapi, liat muka kamu kalo lagi kesal sama saya itu lucu! Saya suka! Yaaahhh, walaupun saya lebih suka liat senyum kamu, apalagi dengerin suara tawa kamu. Bener-bener bikin candu, Hana."

Hana mengalihkan pandangannya, ketika melihat senyum Satya yang tampak berbeda dari biasanya. Entah apa yang salah dengan dirinya, ada rasa debar yang tidak bisa dijelaskan, hinggap di dalam dadanya saat ini.




***





Kepala Hana mendongak, wanita itu berdiri, ketika pintu ruangannya dibuka tiba-tiba. "Mau ngapain kalian bawa-bawa meja sama kursi ke ruangan saya? Kursi sama meja saya masih bagus, dan saya juga nggak ada ngadu sama bagian sarana dan prasarana buat minta ganti."

"Maaf bu Hana, tapi, pak Satya yang minta buat nambahin kursi sama meja kerja di ruangan ini." jawab salah satu cleaning service di kantor itu.

Belum selesai dengan keterkejutannya, si pelaku tiba-tiba saja sudah masuk ke ruangan kerja Hana.

Dengan kuasanya, Satya mulai memerintahkan kepada empat orang cleaning service itu untuk menata meja dan kursinya berdekatan dengan meja Hana.

"Terima kasih ya, semuanya. Ini, pake uang ini buat beli rokok sama gorengan." Satya memberikan masing-masing selembar uang seratus ribuan kepada keempat cleaning service tersebut.

"Makasih pak!" Koor keempatnya. "Kami permisi dulu. Mari bu Hana."

"Apa-apaan ini, pak?" Tanya Hana, begitu keempat orang cleaning service tersebut sudah pergi.

"Seperti yang kamu lihat, ini meja sama kursi punya saya! Karena saya tau, kamu pasti nggak akan mau, kalo harus pindah ke ruangan saya! Walaupun ukuran mejanya lebih kecil dari yang di ruangan saya, dan kursinya juga lebih nyaman yang di sebelah, tapi seenggaknya, saya bisa puas ngeliatin kamu di sini."

Lagi-lagi Hana hanya bisa tercengang melihat kelakuan Satya. Terlebih lagi mendengar ucapan laki-laki itu. "Saya bener-bener nggak habis pikir sama kelakuan bapak."

"Kalo gitu, mulai sekarang kamu harus terbiasa. Saat saya bilang, saya mau menempel layaknya stiker sama kamu, maka itu artinya saya nggak akan jauh dari kamu!" balas Satya, lalu dengan santainya duduk di kursinya yang berjarak sejengkal dari kursi Hana.

"Mau sampai kapan kamu mau berdiri terus? Ayo duduk, terus kerja lagi! Jangan makan gaji buta! Saya paling nggak suka sama karyawan kayak gitu!" Tegur Satya yang hanya sibuk memainkan bulpoinnya.

"Oh iya, satu lagi! Apartemen yang kamu tempati itu udah saya jual! Jadi, pulang dari kantor nanti, kamu sudah harus tinggal di rumah saya, karena barang-barang kamu udah ada di sana sekarang."

"APA!?"




***

Boss or Lust [Miss Independent Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang