10. Merenung

656 104 26
                                    

Setelah kejadian kemarin, Satya hanya diam dan merenungkan semua ucapan Hana. Laki-laki itu bahkan tidak pergi ke kantor hari ini. Ketidakhadiran Hana menjadi salah satu faktor, dirinya tidak bersemangat untuk bekerja.

Sejak semalam, Satya berusaha untuk menghubungi nomer telepon Hana. Namun, yang menjawabnya hanyalah suara operator, yang mengatakan nomer telepon Hana dalam kondisi tidak aktif.

"Hana, kamu dimana? Saya nggak bisa, kalo nggak ada kamu."

Satya memijat pelipisnya memikirkan sekretaris pribadinya itu. Satya merasa tidak habis pikir dengan Hana. Bukankah sudah jelas, jika dia meminta Hana untuk tinggal dengannya, itu artinya mereka akan menikah?

Apa Hana tidak mengerti kata-katanya?
Apa wanita itu tidak paham maksudnya?
Saat Satya mengatakan ingin terus-terusan menempeli Hana, harusnya wanita itu sudah paham, kan?

Helaan nafas panjang keluar dari bibir Satya. Seberapa keras dia mencoba memahami wanita, sepertinya itu semua belum cukup.

Satya pikir, melakukan semua hal dengan memaksakan diri akan membuat Hana berbalik menyukainya. Terdengar egois memang, tapi, bukankah di film, drama dan karya fiksi jaman sekarang, hal itu sedang trend? Tapi, kenapa Hana justru pergi meninggalkannya?

Dengan gerakan cepat, tangan Satya meraih laptopnya, dan membuka file khusus di dalamnya. "Ini semua gara-gara kalian, tau nggak? Hana justru marah, kalo saya bersikap seenaknya! Dari sisi mananya yang romantis? Yang ada wanita pujaan saya malah pergi gitu aja! Drama nggak guna!" Geram Satya.

"Tau gini jadinya, saya nggak akan pernah nonton kalian! Bahkan saya bela-belain buat langganan, biar nggak ketinggalan tiap episodenya! Bener-bener nggak guna! Sekarang saya harus cari Hana kemana? Dia pergi, dan nggak bisa dihubungi! Harusnya kalian tanggung jawab! Balikin Hana sama saya!" Bentak Satya di depan laptopnya, yang menampilkan beberapa file drama dan film koleksinya.

"Katanya film tentang bos sama sekertaris paling digemari dan romantis. Apalagi kalo si bos suka seenaknya, posesif, dan tukang ngatur. Nyatanya nggak gitu! Itu semua nggak berlaku buat Hana! Dia bukan cewek menye-menye buatan kalian!"

"AAARRRGGHHH!" Tangan Satya memukul meja kerjanya dengan keras. Merasa geram, laki-laki itupun menghapus semua file drama juga film romantis yang ada di laptopnya.




***




Hana menonaktifkan ponselnya sejak semalam. Ingin rasanya mengabari teman-temannya tentang kondisinya saat ini, tapi Hana belum siap jika Satya menghubunginya nanti.

"Masa gue harus beli ponsel baru, sih? Biar bisa ngabarin yang lain?" Hana menumpukan dagunya di atas kedua lututnya yang terlipat di depan dada. "Tapi ... enggak deh. Gue masih mau sendiri dulu! Ogah direcoki anak-anak! Lagi males mau cerita."

Mata Hana menatap kosong ke depan, merenungi nasibnya. "Jadi, gue pengangguran sekarang?"

Hana menarik nafas dalam-dalam. "Kayaknya emang harus mulai lagi dari awal."

Tangan Hana meraih tasnya, dan mengeluarkan tiga buku kecil, yang merupakan buku tabungan. "Sebenernya bisa sih, gue beli rumah, walaupun bukan rumah impian gue, yang punya halaman luas, buat berkebun, sama ngerawat tanaman hias. Biar di masa tua nanti, gue nggak bosen. Apalagi kalo gue ntar punya anak, bisa berkebun dan ngerawat tanaman bareng-bareng."

"Kayaknya gue harus puas sama rumah kecil yang punya harga dua ratus jutaan, deh. Sisa uangnya buat usaha sama investasi."

Hana memiringkan kepalanya, mencoba berpikir, usaha apa kiranya yang bisa membuat kaya dalam sekejap. "Ternak tuyul? Pelihara babi ngepet? Pesugihan? Tapi sama aja sih, ribet! Masih harus ada ritual-ritual nggak jelas, semedi, baca mantra, belum lagi harus siapin tumbalnya. Tapi, kalo tumbalnya bisa sama orang yang ngeselin, gue sih, nggak papa! Karena udah pasti, Satya jadi orang pertama yang bakal gue tumbalin. Masalahnya, yang begitu suka minta tumbal orang-orang yang deket sama gue."

Boss or Lust [Miss Independent Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang