4. Hana itu...

859 114 12
                                    

Satya hanya diam di ruang kerjanya sembari memperhatikan foto-foto Hana yang berhasil ia ambil secara diam-diam beberapa waktu belakangan.

Obsesi? Stalker?
Terserah orang ingin mengatainya apa. Tetapi, beberapa bulan belakangan, Satya memang melihat Hana dengan cara berbeda. Ada suatu perasaan yang tidak bisa Satya ungkapkan. Terlalu menakutkankah, jika Satya bilang, dia memendam gairah kepada sekretaris pribadinya itu?

Terkadang Satya merasa lucu dengan dirinya sendiri. Di awal Hana masuk ke perusahaannya, dia hanya merasa kagum dengan kinerja wanita itu. Terlepas dari wajahnya yang memang cantik, wanita itu begitu cakap, tegas, disiplin, bertanggung jawab, cekatan, dan kreatif dengan semua ide-idenya, yang tentunya sangat menguntungkan perusahaan Satya, yang memang bergerak di bidang periklanan.

Awalnya memang Satya tidak suka dengan kepribadian Hana yang keras kepala, tidak kenal takut, juga tidak suka diperintah. Sifat Hana ini tentunya bertolak belakang dengan dirinya, yang juga tidak suka dibantah.

Namun, justru Satya merasa terobsesi untuk menguasai wanita itu sepenuhnya, agar mau tunduk dan menurut kepadanya.

Entah sejak kapan, namun, jika Satya perhatikan pakaian yang Hana kenakan memang selalu memprovokasi para predator di luar sana, termasuk dirinya.

Bagaimana penampilan wanita itu, ketika rambutnya tergerai, ataupun saat dipangkas rapi, hingga memperlihatkan leher jenjangnya. Ada keinginan dalam diri Satya untuk membubuhkan sebuah 'tanda' kepemilikan pada leher tersebut. Agar para karyawan laki-laki di perusahaannya berhenti memandang ke arah Hana. Karena hal itu selalu sukses memancing kemarahannya.

Satya mengusap kasar wajahnya, ketika pikiran kotor kembali hinggap di otaknya, ketika memikirkan Hana. Kepalanya menggeleng cepat. Otaknya seolah memberi peringatan, jika Hana bukanlah wanita-wanita yang punya harga diri setara pelacur.

Harga diri wanita itu sangatlah tinggi. Satya sudah mendengarnya sendiri, di awal-awal Hana mulai bekerja. Ketika Satya bertanya tentang status wanita itu.




"Jadi, kamu masih single?"

Hana mengangguk mantap. "Iya pak. Apa ada masalah terkait status saya?"

Ganti Satya yang menggeleng. "Nggak ada! Cuma, sejauh yang saya tau, untuk usia wanita seperti kamu, mereka pasti udah pada nikah dan punya anak. Yah, kamu pasti tau maksud saya, kan?"

"Saya mengerti pak."

"Menurut kamu, kenapa kamu masih sendiri hingga saat ini?" Tanya Satya.

"Karena saya belum bisa menemukan pasangan yang satu visi dengan saya."

Satya tampak tertarik dengan jawaban Hana. "Menurut kamu, apa arti sebuah pernikahan?"

"Maaf jika saya lancang, tapi, bukankah bapak sendiri harusnya lebih tau arti sebuah pernikahan?" Hana balik bertanya.

Satya mengedikkan bahunya. "Saya duda, karena istri saya meninggal. Jadi menurut saya, pernikahan adalah cinta yang tulus, ikhlas dan kesetiaan, karena saya belum bisa melupakannya hingga saat ini, dan  memilih untuk tetap sendiri."

"Pandangan kita tentu berbeda tentang pernikahan. Buat saya, pernikahan itu antara dua orang yang mempunyai tujuan yang sama dan jelas. Bukan semata-mata hanya soal cinta. Tapi, tentang apa yang akan kita raih dalam pernikahan itu ke depannya. Jika sejak awal sudah berbeda tujuan, maka hal ini pasti akan menimbulkan masalah suatu hari nanti."

Satya hanya diam, bersiap mendengarkan. Laki-laki itu tau, jika Hana belum selesai dengan ucapannya.

"Bukankah sudah banyak bukti nyata, ketika dua orang memutuskan untuk menikah atas dasar rasa suka dan cinta saja, ujung-ujungnya mereka akan tetap datang ke pengadilan untuk melakukan perceraian, ketika perasaan yang mereka miliki sudah berganti kepada orang lain, dan bukan lagi kepada pasangannya. Orang yang menikah, karena harta pun juga demikian. Ketika harta itu sudah habis, maka perasaannya juga pasti sudah hilang tak berbekas."

"Orang yang juga menikah, karena ingin mempunyai keturunan pun sama saja. Ketika mereka tidak bisa mendapatkannya dari pasangannya, bukan tidak mungkin mereka akan mencari orang lain untuk mencapai tujuan itu, kan?"

"Jadi, menurut saya, pernikahan itu harus mempunyai tujuan, visi dan misi yang sama, juga jelas untuk kedepannya. Ketika mereka sudah sejalan sejak awal, maka sudah bisa dipastikan hubungan mereka pun akan langgeng ke depannya, hingga tujuan awal mereka menikah tercapai. Dan saya merasa lebih baik sendiri, jika belum bisa menemukan pasangan yang mempunyai tujuan sama."

"Saya jelas tidak mau membuang-buang waktu dan tenaga untuk pasangan yang seperti itu. Untuk apa menikah, jika ujung-ujungnya harus bercerai, karena tidak lagi sejalan? Pernikahan itu bukan permainan, hanya karena kamu sudah bisa mengurus surat cerai di pengadilan. Untuk saya, suka itu sekali, jatuh cinta itu sekali, dan menikah pun juga sekali."

Diam-diam Satya tersenyum, mendengar jawaban Hana yang menunjukkan jika wanita itu adalah wanita cerdas, berkualitas dan berkelas. Ada perasaan kagum melihat bagaimana cara berpikir Hana yang berbeda dari kebanyakan wanita jaman sekarang.



Satya meraih ponselnya untuk menghubungi sekretarisnya itu. Dia tau, jika sekarang sudah lewat jam kantor, dan dia sendiri sudah ada di rumah. Tapi, Satya tidak pernah bisa membendung perasaannya, yang ingin bertemu wanita itu secara langsung.

Tidak membutuhkan waktu lama, bagi Hana menjawab teleponnya. Walaupun sudah bisa Satya pastikan, jika Hana pasti akan marah, karena mengganggu waktunya.

"Ke rumah saya sekarang!" Titah Satya.

"Satu jam! Saya lagi pakai masker!"

"Saya nggak mau tau, dan saya nggak peduli! Kalo saya bilang sekarang, ya sekarang! Kamu tau, saya nggak suka ditolak kan, Hana?"

Bisa Satya dengar, suara Hana yang menahan amarah di seberang telepon.

"Dan bapak juga tau kan, saya nggak suka diperintah! Apalagi ini udah lewat dari jam kerja! Jadi, jangan salahin saya, kalo saya membantah perintah bapak!"

"Saya bos kamu, kalo kamu lupa!" Satya mencoba menunjukkan kekuasaannya, walau dalam hati laki-laki itu yakin, jika hal itu tidak bisa menakuti wanita itu.

"Dan saya sekretaris pribadi bapak, kalo bapak lupa!" Balas Hana tak mau kalah.

Satya hanya tersenyum kecil. Tepat sesuai dugaannya. "Ya udah, silahkan membantah. Kalo gitu, silahkan ucapkan selamat tinggal sama bonus akhir tahunmu!"

"Ya udah! Ya udah! Saya jalan sekarang!"

Tanpa berpamitan atau mengucap salam, Hana sudah lebih dulu memutuskan panggilan keduanya. Terkesan tidak sopan memang, tapi hal itu membuat Satya justru tersenyum puas. Ada perasaan menyenangkan, ketika mendengar suara Hana yang selalu meledak-ledak, karena perintahnya yang Satya akui, memang tidak masuk akal.

Jika seorang pimpinan lain mungkin akan langsung memecat Hana, karena terkadang menolak perintah atasannya, dan berlaku tidak sopan. Maka berbeda dengan Satya, yang justru merasa candu, ketika wanita itu mulai marah, karena perintahnya.

Kedua alis Satya menyatu, ketika memikirkan hal apa kiranya yang akan ia lakukan pada Hana untuk kali ini. Hingga Satya tersenyum, saat memikirkan satu hal, yang bisa Hana lakukan, ketika wanita itu datang ke rumahnya sebentar lagi.



***

Boss or Lust [Miss Independent Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang