Mimpi menjadi seorang penulis, karya yang akan dibaca lalu dikenang oleh banyak orang, itu yang Zeano inginkan.
Tapi, ada banyak cara untuk orang terdekatnya merendahkan mimpi itu. Memberi segaris luka sayatan pada Zeano.
Bukan hanya berbicara tent...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bram berlari tak tentu arah, sialnya ia kehilangan jejak mereka. Entah sudah berapa banyak orang yang ia tabrak serta sudah berapa umpatan yang keluar langsung karena merasa kecewa.
Lelah berlari, Bram akhirnya memilih untuk duduk di tepi jalan yang sedikit sepi. Satu hingga dua motor belum terlihat dengan radarnya, ia menghela napasnya gusar.
"Ini mah gue niat nolongin tapi gue yang kesasar."
Dering ponselnya membuat Bram melirik tak minat. Saat panggilan dengan nama kontak adiknya ia menjawab pesan itu dengan semangatnya.
"Oy, gimana?"
"Sumpah, Kak, lo di mana?"
"Gue juga enggak tau ini anjir. Nyasar karena kejar Zeano yang dibawa bokapnya."
"Pas! Lo ke sini. Gue share location sekarang, lo susul gue di sini. Zeano sama bokapnya ditambah Om ada di sini!"
Bram buru-buru mematikan, menunggu adiknya mengirim lokasinya saat ini lewat pesan. Beberapa menit ia tunggu sampai akhirnya pesan itu terkirim, pun pesan terakhir adiknya membua Bram semakin terkejut.
Tio Sialnya, Zeano akan dibunuh sama Om dalam waktu dekat ini.
Tuhan, tolong lindungi anak itu, jangan buat dia semakin menderita, anak itu belum bertemu bahagianya. Bram mendoakan anak itu lewat batinnya, berharap Tuhan mendengar lalu mengabulkannya.
﹏﹏﹏
Rasta menyeduh kopi hitam pekat buatan si cantik kesayangannya. Senyumnya masih terulas hangat menyaksikan pakaian rapi calon istrinya ini, ia menggeleng saat membayangkan bagaimana jika hari itu akan datang.
Nara dengan tangan bergetar di sembunyikan di belakang punggungnya hanya mampu tersenyum malu. Melirik dari ujung matanya, Rasta masih memerhatikannya dengan senyum candunya.
Lama berdiam dengan dua orang saling duduk tak bersuara. Seno datang dengan wajah kusutnya dan duduk di samping Nara. Tak memerhatikan bahwa pandangan Rasta sudah beralih menatapnya.
"Sayang, hey, bangun dulu. Om Rasta lihatin kamu, tuh," bisiknya pelan. Beruntungnya Seno bangun untuk memastikan lalu berlari sekencangnya ke arah kamar mandi.
"Itu anak kamu, 'kan, ya?"
Nara mengangguk lalu sekilas melihat tangan melambai di balik tembok. Ia tau itu anaknya, maka dari itu ia hanya tersenyum.
"Seno, ke sini sebentar dulu, sayang," panggilnya. Seno dengan rasa malunya tampak mendekati dua orang yang sama-sama menatap dengan kekehan kecilnya.
Deheman singkat Rasta menjadi awal mula pemecah hening yang hadir kembali.