31- Undangan Tak Resmi untuk Papa dan Zeano

102 7 0
                                    

Setelah berganti pakaian, Zeano lebih memilih merebahkan tubuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah berganti pakaian, Zeano lebih memilih merebahkan tubuhnya. Rasa penat yang dirasakannya sedari tadi makin meningkat setelah melihat polaroid foto yang ia miliki satu-satunya harus tak terbentuk lagi, hatinya seperti teriris pisau melihatnya.

Sengaja ia simpan dengan apik di balik lembaran buku khususnya, tetapi dengan mudahnya Renza mengobrak-abrik semuanya. Dari lembaran yang hampir disobeknya, hingga draf naskah untuk karyanya hampir dihapus.

"Papa kasih kamu dua pilihan. Lepas mimpi kamu atau terus wujudin tapi luka yang kamu dapat kemarin-kemarin hanyalah permulaan. Bagaimana?"

Baru akan memejamkan matanya berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk yang bercabang, pertanyaan Papa sebelum ia melangkah ke kamarnya ternyata hadir kembali.

Terpaksa ia bangkit, memikirkan pilihan mana yang tepat.

"Kalau gue lepas mimpi gue, kira-kira gue disayang Papa selamanya enggak?" monolognya. "Ya kalau bisa mah ortu gue harus balikan, sih."

Kamar yang terkunci dari dalam itu diketik beberapa kali dari luar. Suara berat yang ia hapal terdengar pada rungunya. Zeano menghela napas dahulu sebelum membuka.

"Makan, sudah Papa siapkan." Ternyata Renza yang mengajaknya makan. Seketika wajah tanpa ekspresinya berubah semangat, senyumnya mengembang sempurna. Mengiyakan ajakan sang Ayah lalu tanpa sadar menarik lengannya.

"Papa masak sesuatu?" Renza mengangguk tanpa ekspresinya. Sejujurnya ia merasa risih saat lengannya digenggam sang anak, tetapi ia juga tak akan mengutarakan kerisihannya saat ini.

"Papa masak apa?" tanyanya semangat.

"Lihat saja, kau juga akan tahu," jawabnya tak minat. Kondisi hatinya juga mendadak tak baik, mungkin jika tak bergelut dengan diri sendiri sebelumnya, bisa saja Zeano akan mendapat amukan lagi.

Sudah sampai di meja makan, Zeano lantas duduk dan mengambil piring yang sudah disediakan. Sederhana masakannya, hanya telur goreng balado serta sayur sup.

"Enak?" Renza bertanya sebelum mengambil jatah bagiannya. Melihat Zeano yang mengangguk setelah mengunyah hasil masakannya sedikit membuat hatinya tenang.

"ENAK BANGET, PA!" katanya semangat. Tak bohong, masakan Papanya yang sederhana ini kelihatan lebih enak dari biasanya. Ah jika begini, ia jadi rindu masakan Mama.

"Papa emang pintar masak apa coba-coba aja? Enak banget kayak yang udah jago gitu."

"Coba aja, bahan di kulkas sudah Papa isi tapi Papa bingung harus masak apa. Ya sudah Papa coba cari resep masakan yang simple aja."

Zeano mengangguk, mengunyah satu suapan lagi dengan selera. "Mama harus tahu kalau Papa pintar masaknya." Tetapi, Zeano lupa bahwa topik ini menjadi hal sensitif bagi Renza.

Sendok milik Papa bahkan dibanting begitu saja di atas piring yang isinya masih banyak, seperti belum tersentuh. Raut wajah Papa pun tampak tak bersahabat, tangannya seolah menggenggam kuat angin hingga keliatan memerah.

Zeano dan Mimpinya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang