6- Karena Kita Adalah Teman

209 18 6
                                    

Tawa itu mengisi hening di tengah mereka berdua, membicarakan sesuatu yang bagi mereka adalah sebuah lelucon yang konyol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tawa itu mengisi hening di tengah mereka berdua, membicarakan sesuatu yang bagi mereka adalah sebuah lelucon yang konyol. Siang itu, kantin sekolah menjadi saksi di mana Areta dan Zeano mulai dekat dan saling bercanda.

Ada satu hal yang Areta ketahui, yaitu saat Zeano juga merupakan orang yang asik untuk di ajak bercerita. Areta adalah orang pertama yang dapat melihat tawa Zeano dengan hangat.

"Ngomong-ngomong ... emm, Ta? Kenapa lo harus traktir gue? Gue masih punya uang kalau cuman jajan ini."

Areta menatapnya dengan tatapan terkejut, matanya tak sengaja berpapasan dengan mata Zeano. "Kenapa? Gue ada ngomong salah, ya?"

"Eng-enggak! Cuman ... lo baru aja manggil gue Ta, gitu?"

"Ya ... ada yang salah? Atau lo risih dipanggil seperti itu?" Areta kemudian menggeleng cepat.

"Lo orang kedua setelah Abang yang manggil gue Ta. Orang-orang yang akrab dengan gue aja manggil Re sih."

"Ah ... begitu, ya? Terus di mana Abang lo?"

"Udah pulang duluan. Abang nyaman di sana soalnya."

Sejenak senyum manis dari Areta luntur tergantikan raut wajahnya berbeda dengan sebelumnya. Zeano merutuki dirinya, saat ia tak sengaja mengubah suasana hati Areta dengan bertanya seperti itu.

"Sorry ... gue buat lo sedih, ya?"

Areta menggeleng, kemudian ia memaksakan untuk tersenyum kembali. Senyum yang mampu membuat Zeano senang hanya dengan memperhatikannya. "Enggak. Gue cuma kangen sama Abang. Akhir-akhir ini gue jarang ke rumahnya."

"Kenapa?"

"Orang tua gue ngelarang buat ketemu. Katanya kalau gue ke sana yang ada gue dapat kesialan."

Beberapa detik sudah terlewat lalu hening kembali mengelilingi mereka berdua. Setelahnya Areta tersadar, kemudian menepuk mulutnya sendiri.

"Eh? Kenapa?" tanya Zeano. Bahkan tanpa sadar, ia telah menjatuhkan sendok dari mangkuk bakso yang ia pesan.

"Nggak apa-apa, Ze. Gue malah curhat tadi, padahal nggak seharusnya gue cerita."

Ze, nama panggilan Zeano dari Areta. Zeano tersenyum setelah mendengarnya, ia suka panggilan itu, apalagi dari Areta sendiri.

"Cerita aja, Areta. Gue suka kalau lo cerita, so? Lo mau cerita sesuatu tentang lo ke gue?"

"Mau, tapi maaf gue belum bisa cerita sekarang, Ze. Nggak apa-apa, ya? Gue janji gue bakal cerita. Sekarang kita akan saling cerita, lo bebas cerita apapun ke gue atau masalah lo, begitu juga gue yang akan cerita ke lo. Okey?"

Zeano mengangguk dengan senang. Areta mungkin akan menjadi orang pertama yang Zeano butuhkan kala luka itu kembali hadir. Menjadi bahu di saat semua orang pergi meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh.

Zeano dan Mimpinya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang