19- Hangatnya sang Kakak

171 12 2
                                    

Laptop yang menyala dan jari tangan yang lihai menari di atas keyboard laptop itu menjadi melodi indah yang terdengar di rungu cowok itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laptop yang menyala dan jari tangan yang lihai menari di atas keyboard laptop itu menjadi melodi indah yang terdengar di rungu cowok itu. Angkasa pada malam ini terlihat tenang, tanpa bulan tanpa bintang tetapi ditemani rintik hujan yang entah sejak kapan turunnya.

Segelas ukuran sedang berisi teh panas untuknya menjadi temannya malam ini, pun tak lupa setoples kue kering yang Kakak bawakan sebagai pelengkapnya.

Zeano berdehem setelah berhasil menyelesaikan beberapa paragraf untuk ceritanya sendiri, kembali merevisi ulang jika menurutnya ada kesalahan.

"Dek, gue masuk, ya?"

Kalimat itu terdengar saat Zeano baru menyeduh tehnya yang ia diamkan beberapa menit kebelakang. Tanpa jawaban apapun, pintu itu terbuka, tampak Seno yang berdiri dengan kotak obat di tangan kirinya.

"Siapa yang luka, Kak?"

"Lo lah bego. Lo pikir gue nggak tau gimana lo selama gue sekolah tadi?"

"Gue udah sembuhin, Kak, enggak perlu lagi," ucapnya kekeh. Seno ikut duduk di kursi yang tersedia, lalu membuka kotak obat itu.

"Udaranya bahaya, angin malam soalnya."

"Nanti masuk angin," lanjutnya sebelum Zeano baru saja ingin bersuara. Kekehan kecil terdengar dari Zeano, sedikit ia lihat mata Zeano seperti tampak berbinar menatapnya, namun tak ia hiraukan.

"Lo ngapain masih di luar gini?" tanya Seno, sebelum menuang alkohol pada kapas yang akan ia ambil.

"Nonton kartun di youtube." Seno mengangguk percaya saja. Tetapi sejujurnya ia tidak percaya, ia yakin Zeano masih melanjutkan cerita yang ia buat sendiri.

Detik ke menit pun hening masih setia hadir di tengah mereka. Seno yang pelan-pelan menyembuhkan memar yang ada pada tubuh adiknya, dan Zeano yang masih tak luput pandangnya dari wajah Kakaknya.

Ternyata, se-lembut ini Kakaknya.

Ia kangen Kakaknya.

Kangen saat-saat Kakaknya masih melindungi dirinya, tidak memberinya luka baru.

Entah sekarang harus bagaimana, kakaknya yang memberinya luka tetapi juga menyembuhkan.

"Kak, kakak gini ke Ano bukan karena rasa kasihan, 'kan?" Pertanyaan itu hadir saat Seno baru selesai menyembuhkan lukanya.

Seno menggeleng sambil memperbaiki letak obat-obatan di dalam kotak obat yang ia bawa tadi. "Kenapa bilang gitu? Lo nggak percaya sama kakak sendiri, hah?"

"Enggak, bukan. Bukan gitu, tapi ... kan waktu malam itu, Kakak...."

Sengaja, Zeano memberhentikan ucapannya. Mengingat itu rasanya membuat Zeano takut pada kakaknya sendiri. Belum lagi dengan ucapan menyakitkan yang malam itu kakaknya ucapkan secara sadar atau tidak sadarnya.

"Gue khilaf. Gue bikin lo takut, ya?"

Zeano menggeleng, menundukkan kepalanya lalu menatap Kakaknya yang pandangannya beralih pada langit malam. "Kak, lo tetep milih Mama?"

Zeano dan Mimpinya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang