Mimpi menjadi seorang penulis, karya yang akan dibaca lalu dikenang oleh banyak orang, itu yang Zeano inginkan.
Tapi, ada banyak cara untuk orang terdekatnya merendahkan mimpi itu. Memberi segaris luka sayatan pada Zeano.
Bukan hanya berbicara tent...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kapan acara Mama lo?"
"Lebih cepat dari yang gue undang lewat telepon hari itu," jawabnya. Bram yang sedari tadi sibuk memakan es krim yang dibelinya justru tersedak.
"Maksud lo?" Seno menghela napas kesal, entah dia yang tidak tau menjelaskan atau Bram yang bodoh.
"Gue bilang hari itu seminggu kemudian, ternyata dipercepat, jadi acaranya lusa."
Setelah meneteralkan semuanya, merasa bahwa ia tak lagi merasa tersiksa, Bram mengangguk mengerti. Berdiri di atas jembatan serta kedua tangannya yang bertumpu pada pembatas jembatan itu ternyata membuat angin berhembus lebih kencang pada sore hari ini.
Bram melirik pada pemuda yang pernah menjadi adik kelas kebanggaannya. Raseno Ghara hari ini tampak lebih tenang serta fokus pandangnya yang sedari tadi belum berpindah, menatap aliran sungai yang tenang dibawah jembatan ini.
"Gue enggak tau apa yang ada di pikiran yang katanya bakal jadi calon Ayah gue. Dia yang atur semuanya, Mama gue hanya tinggal terima beres."
"Sejujurnya, gue belum siap sama pernikahan mereka."
Bram mencerna ucapan dari adik kelasnya dengan seksama, merasa tak tau harus berucap apa kala anak itu sedikit mengeluhkan perasaan tak tenangnya.
"Kenapa belum siap?" Tetapi, hanya sebuah pertanyaan bodoh yang keluar.
"Anak mana yang bakal baik-baik aja setelah dengar kabar perceraian orang tua di hadapannya langsung dan enggak lama akan dilangsungkan pernikahan. Luka hari itu aja belum sembuh, eh udah ditikam aja sama ketakutan gue."
Tak ada balasan apapun lagi dari Bram yang merasa pertanyaan bodohnya sudah dijawab oleh anak itu. Merasa tak enak hati sebab bertanya yang semestinya ia sudah tau jawabannya sejak awal.
"Tapi mau gimana lagi, 'kan, lo mau enggak mau harus ada di hadapan itu."
"Waktu kecil gue suka penasaran sama pernikahan orang tua gue, tetapi ya enggak gini juga maksudnya. Kali ini, gue harus saksiin langsung pernikahan Mama gue dengan orang baru?"
"Jujur aja, gue takut sama perdebatan mereka dan yang berakhir pisah semenjak hari di mana Mama dan Papa gue dulu berantem."
Tak tahu harus bagaimana untuk sekedar menenangkan dari kegelisahan anak itu. Raseno memilih untuk memejamkan kedua matanya, menikmati semilir angin sejuk yang menerpa wajah mulusnya.
"Lo dapat rekomendasi tempat ini dari mana, sih, Bang?" tanyanya saat Seno sudah membuka matanya. Rambut acak-acakan anak itu tak diperbaikinya, membuat Bram gemas sendiri.
"Rambut lo perbaikin dulu, noh. Udah kayak bocil pengemis di pinggir jalan yang enggak keurus."
"Bodo, ganteng gini juga."
Bram memilih diam saja, mau berdebat juga lelah rasanya. Sampai akhirnya ia mengingat, pertanyaan anak itu sebelumnya tentang dari mana ia mendapat tempat ini.