Terik matahari siang itu sama sekali tak dihiraukan Zeano. Bahkan peluh yang anak itu keluarkan setelah berlari menjauhi rumah sang Mama tak ada apa-apanya. Dibandingkan dengan sakit di dadanya akibat terlalu letih berlari, hatinya lebih sakit setelah mendengar fakta tentang dirinya.
Zeano sejak lama sudah memikirkan bahwa mungkin dirinya bukan anak kandung mereka. Tetapi ketika fakta baru diungkapkan saat ini, anak itu tetap merasakan sakit.
Sesak di hatinya makin menjadi-jadi ketika mengingat bahwa orang tua kandungnya sudah lama pergi."Tuhan ... orang tua Zeano di sana apa kabar? Ayah, Ibu maaf karena Zeano sama sekali tak tahu bahwa kalian sudah jadi bintang."
"Zeano baik di sini, kalian percaya, 'kan? Mereka merawatku untuk tumbuh mandiri dan tak manja."
Berlainan dengan apa yang ia lisankan, ada jiwa dalam dirinya yang seakan-akan menepis semuanya. "Enggak, Zeano enggak baik-baik aja. Semua sakit, tapi lebih sakit saat Zeano nggak tahu kalian sama sekali."
Bulir bening yang jatuh dari matanya bahkan sudah membasahi pipi anak itu. Tetapi, terlalu sakit yang ia rasakan membuat tangis yang ia keluarkan tak ada apa-apanya.
Tidak mungkin jika anak itu sudah mati rasa, bukan?
"Zeano?" Cowok 16 tahun itu berbalik ketika tangan seseorang menyentuh pundaknya.
"Lo ngapain panas-panas di sini? Nyari sakit lo?" Zeano menggeleng, tatap anak itu kosong. Tak ada lagi sesak yang ia rasakan, tak ada lagi tangis yang dapat anak itu keluarkan. Semua terlalu tiba-tiba, hingga ia tak lagi merasakan sakit yang sangat lama.
"Emang udah sakit," gumamnya. Tidak tahu apakah Tio yang menepuk pundak Zeano itu dapat mendengar gumaman anak itu.
"Oh iya, lo kesini ngapain?"
"Habis main sama teman, terus niatnya mau refreshing sejenak di sini. Eh enggak tahunya malah ketemu lo dibawah panas. Gue kira siapa, ternyata lo, No."
Zeano terkekeh, lalu melirik sekelilingnya. "Lo mau ke tempat teduh gitu?" Tio mengangguk. "Gila aja gue mau panas-panas. Kulit gue nanti hitam, kasihan nanti cewek pada ilfeel lihat gue."
Tanpa kata lagi, Zeano segera melangkah lebih dulu. Satu yang menjadi tujuannya yaitu gazebo yang tak terisi oleh orang-orang sama sekali. Danau di hadapannya menjadi pusat menyenangkan untuk dipandang.
"WIH KEBETULAN GUE LAGI PENGEN TIDUR." Tio berteriak ketika Zeano menunjuk gazebo yang akan mereka tempati. Tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang merasa terganggu, mereka berdua tanpa berdosanya langsung duduk di gazebo itu.
Merasakan bahwa suasana ini terlalu nyaman, Tio merebahkan dirinya lalu memejamkan mata. Terlalu aneh ketika ia hanya tertidur sendirian, ia mengintip sedikit dari matanya yang terpejam.
"Sok galau lo," katanya. Niatnya mengajak anak itu ikut merebahkan diri di sampingnya. Zeano menoleh ke belakang lalu menggeleng.
"Tidur aja deh lo kalau ngantuk. Gue masih pengen liat danau di depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zeano dan Mimpinya [END]
Teen FictionMimpi menjadi seorang penulis, karya yang akan dibaca lalu dikenang oleh banyak orang, itu yang Zeano inginkan. Tapi, ada banyak cara untuk orang terdekatnya merendahkan mimpi itu. Memberi segaris luka sayatan pada Zeano. Bukan hanya berbicara tent...