Suara riuh dari dalam kafe itu terdengar ditambah dengan live music yang mendominasinya, kebanyakan orang juga masih tetap bertahan di sini hanya untuk sekedar mengobrol ringan, mengerjakan sesuatu dengan laptop di hadapannya, atau ikut bernyanyi bersama.
Suasana dalam kafe seperti itu yang membuatnya sangat muak. Ia ingin beranjak, tetapi aroma khas dari kafe yang memanjakan indra penciumannya membuatnya masih tetap duduk di sini, dengan segelas kopi berukuran sedang di hadapannya.
Selain karena dari aroma khas kafenya, ada satu hal yang membuatnya terpaksa untuk masih duduk manis dengan telepon genggam ditangan kirinya. Teman SMA nya yang duduk di samping kirinya, dengan handphone yang menampilkan sebuah film untuk ia tonton sendiri. Jika ia beranjak sedikit saja, temannya akan menariknya kembali, atau bahkan saat ia mengatakan sudah lelah, temannya tak segan untuk menatapnya tajam dengan sebuah ancaman.
Membosankan.
"Sampai kapan kita duduk tanpa suara seperti ini? Coba perhatikan sekitar, orang-orang tampak asik bercengkrama dengan orang di hadapannya."
Setelah lamanya duduk berdua tanpa suara, ia memutuskan untuk membuka suara saat merasa suasana di kafe ini benar-benar begitu membosankan, bahkan orang yang datang sedari tadi sudah pergi. Tapi mereka bahkan sampai 1 jam lamanya disana hanya duduk diam dan asik dengan handphone masing-masing.
"Aish! Kau mengabaikanku? Lagian apa serunya nonton film itu di tempat ramai? Kau tak terganggu?"
"Berisik! Diam saja kau itu."
"Hey? Bagaimana kau bisa bilang berisik saat aku baru saja berbicara? Sedangkan orang disekitar kita ramai kau terlihat tak begitu terganggu."
"Karena kau disampingku. Apa salahnya untuk menunggu sebentar?" Teman di sampingnya sudah menjeda sejenak filmnya, lalu tangan kanannya meminum kopi yang bahkan uap nya sudah tidak ada lagi.
"Menunggu sampai kapan? Sudah 1 jam kita di sini tapi tak ada tanda-tanda."
Revi -teman SMA nya- menggeleng singkat. Lalu memutar kembali film yang sempat ia jeda tadi. "Aku tak tahu, tolong tunggu saja. Film ku sebentar lagi habis, kalau sampai belum datang disaat film ku sudah berakhir baru ku telpon."
"Kenapa tidak sekarang?"
"Kau buta? Aku lagi nonton, kau temanku dari lama, seharusnya kau juga tahu sebuah fakta bahwa aku membenci orang yang menggangu acara nontonku."
"Kau juga temanku, seharusnya kau tahu kalau aku benci keramaian. Bisa-bisanya kau mengajakku ditempat ramai seperti ini? Memuakkan."
Revi tak lagi menjawab, ia kembali asik dengan film di hadapannya. Mungkin film nya saat ini lebih menarik daripada harus membuka suara kembali.
Ia sendiri bingung harus apa, ingin membuka ponsel yang ia abaikan, tapi matanya sudah lelah untuk menatap layar terang itu. Kopi di hadapannya juga tak lagi menjadi minatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zeano dan Mimpinya [END]
Ficção AdolescenteMimpi menjadi seorang penulis, karya yang akan dibaca lalu dikenang oleh banyak orang, itu yang Zeano inginkan. Tapi, ada banyak cara untuk orang terdekatnya merendahkan mimpi itu. Memberi segaris luka sayatan pada Zeano. Bukan hanya berbicara tent...