Bram melangkahkan kakinya menuju ke satu rumah yang tertutup. Pagar yang terkunci pun satu mobil yang masih terparkir di pekarangan rumahnya. Jika dilihat, rumah ini masih terawat baik, tapi kenapa Bram tidak merasakan yang namanya kehangatan?
Tak ingin berpikir yang tidak-tidak, ia mencoba berteriak memanggil orang di dalam rumah itu. Berharap ia segera dibukakan pagarnya lalu bisa bersilaturahmi kesini.
Mungkin ada sekitar lima menit ia berdiri tanpa kepastian akan dibuka, ia akhirnya mengecek ponsel lalu mengabari si yang punya rumah.
"Halo, Ze? Lo di dalam 'kan?" tanyanya langsung saat panggilan itu telah terhubung.
"M-malam, Bang. Kenapa ne-nelpon?"
Bram tak langsung menjawab. Ia mengerutkan keningnya dahulu saat mendengar balasannya. Zeano seperti orang kesakitan, tapi dicoba disamarkan, itu yang Bram tangkap dari suaranya.
"Ze? Lo di dalam? Ini gue diluar. Buka pintunya."
"A-ada Papa. Ze takut."
"Nyari siapa kamu?"
Terlalu fokus untuk menangkap suara Zeano yang kesakitan itu, ia sampai tak menyadari kehadiran sang pria paruh baya yang berdiri dekat mobilnya.
"Permisi, Om," katanya membungkuk sopan. Renza hanya membalasnya anggukan lalu acuh kembali padanya.
"Saya tidak punya banyak waktu, mau apa kamu kesini?"
"Mau ketemu Zeano, Om. Ada 'kan?"
Renza membuka pagar rumahnya lebar-lebar. Sepertinya Renza akan pergi malam ini, terbukti dari mobilnya yang dipanaskan terlebih dahulu.
"Tidak ada. Dia pergi bersama temannya."
Bram menggeleng kuat. Pikirannya, bagaimana bisa Renza mengatakan seperti itu padahal ia baru saja menelepon Zeano yang katanya ketakutan dengan sang Papa.
"Saya yakin Zeano di dalam. Saya baru saja menelepon dia."
Renza menggeleng. "Saya bilang tidak ada. Jangan mencoba membohongi saya, ya."
"Saya yang harusnya mengatakan seperti itu. Anda yang berbohong pada saya."
Belum sempat ia akan mengatakan sesuatu lagi pada Renza, ia sudah dikejutkan dengan suara tutupan pintu mobil yang keras, selanjutnya disusul klakson agar mengusir Bram dari rumahnya.
"Pulanglah. Anak itu tidak ada di rumah."
Selanjutnya mobil itu melaju pergi entah kemana. Bram memperhatikan pagar itu yang masih terbuka, entah Renza sadar apa tidak bahwa pagar itu tak terkunci. Bram tersenyum, itu artinya memudahkan ia untuk masuk menemui Zeano.
Lalu ia kembali melangkah menuju pintu yang tertutup. Pintu itu kemudian diketuk beberapa kali tapi belum ada balasan. Hingga akhirnya saat ia benar-benar kesal, Bram ingin mendobrak pintu itu, sudah dikejutkan suara pintu yang terbuka lalu disusul jatuhnya Zeano tepat di depan kaki Bram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zeano dan Mimpinya [END]
Novela JuvenilMimpi menjadi seorang penulis, karya yang akan dibaca lalu dikenang oleh banyak orang, itu yang Zeano inginkan. Tapi, ada banyak cara untuk orang terdekatnya merendahkan mimpi itu. Memberi segaris luka sayatan pada Zeano. Bukan hanya berbicara tent...