Bab 8

4.6K 1K 80
                                        

Arya menunggu di luar. Menunggu siapa pun yang akan datang ke dalam ruangan yang sejak tadi tak luput dari perhatiannya.

Arya terus menunggu, sesekali turun ke kantin untuk membeli minum dan mengganjal perutnya yang terasa lapar, dan ketika kembali lalu mengintip tetap tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan Inka. Arya melirik arlojinya, sudah pukul sebelas.

Tidak ada satu pun yang datang ke ruangan itu, Arya yakin. Bibir Arya menipis, dahinya berkerut dalam, Inka lagi-lagi berbohong. Bukankah sudah jelas wanita itu hanya tidak ingin Arya berada disana. Tidak ingin merepotkan, merasa berhutang. Logika Arya menuntutnya agar pulang ke rumah, tetapi hatinya tahu dia tidak akan tinggal diam, setelah apa yang dilihatnya selama dua hari ini.

Kenapa Arya begitu peduli? Arya mencoba menemukan berbagai alasan dia tetap di sini. Dan yang kembali teringat oleh Arya adalah gumaman Inka ketika bermimpi buruk. Melihat wanita itu ketakutan, juga ikut membuatnya cemas.

Wanita itu sakit, ketakutan, terkadang terlihat gugup dan gemetaran. Dari sudut hati Arya terdalam sudah jelas dia tidak dapat meninggalkan wanita itu, bahkan jika harus mencuri-curi intip seperti ini. Arya mencoba membenarkan alasannya melakukan semua ini, ya, jika yang mengalami kejadian itu bukan Inka, Arya yakin dia juga akan tetap menolong.

Arya kembali duduk di kursi tunggu, bersidekap dan memikirkan banyak hal. Memikirkan apa yang harus dilakukannya, jika Inka tetap tak mau bicara.

Jam tangan Arya menunjukkan pukul setengah dua belas, ketika Arya kembali bangkit dan menuju pintu kamar rawat inap Inka. Kepala wanita itu menekuk tunduk, sangat jelas terlihat Inka tertidur. Tanpa pikir panjang, Arya membuka pintu perlahan.

Rambut hitam lebat Inka menutupi sebagian wajahnya. Televisi masih menyala. Arya bergerak lebih mendekat. Memandangi wajah Inka. Dari posisinya, jelas Inka seperti tak ingin tertidur. Dia tetap ingin terjaga, tetapi matanya tak bisa berkompromi. Kemungkinan Inka takut kembali bermimpi buruk?

Sementara, kini Arya bingung membetulkan posisi Inka agar lehernya tidak sakit. Arya ragu Inka akan kembali histeris. Ini sudah tengah malam dan jika Arya membangunkannya mendadak pasti akan menimbulkan keributan.

Arya mengelus dagunya seraya berpikir, dengan pandangan mengelilingi ruangan. Tatapan Arya berhenti pada layar televisi. Suara pengisi acara itu mengalun rendah. Arya meraih remot di pangkuan Inka, dan menaikkan volume televisi. Arya menaikkan sebanyak dua kali, baru akhirnya Inka tersentak dengan mata membeliak.

Inka dipaksa kembali hadir ke dunia nyata, dan sangat terkejut lagi-lagi mendapati kehadiran Arya.

"Maaf membangunkanmu dengan cara seperti ini," klarifikasi Arya cepat.

Inka masih melotot panik.

"Kamu harusnya mengatur tempat tidur, bukan mengganjal punggungmu dengan bantal. Pasti lehermu sakit. Saudaramu tidak datang lagi? Atau memang tidak pernah ada yang datang?" pancing Arya.

"Ke-kenapa Bapak terus-menerus datang?!" ucap Inka spontan tak dapat menahan kalut yang berputar dalam dirinya, ditambah cemas dan takut yang melanda tiap kali dia terbangun dari mimpi buruknya.

Arya bergeming untuk beberapa saat. Mata itu menyorot linglung, Arya menunggu hingga Inka mampu menguasai diri dan sekitar. Perlahan pandangan itu merunduk, dan rona merah sekilas tampak di pipi Inka yang pucat. Reaksinya seperti permohonan maaf tak terucap. "Saya—tidak ingin berhutang budi."

"Sudah dua hari kamu bangun dalam keadaan terkejut dan histeris. Wajahmu seperti orang ketakutan. Hanya orang bodoh yang akan beranggapan tidak terjadi sesuatu. Selama dua hari ini saya hanya berpura-pura tak peduli untuk menanyakan apa yang terjadi. Dan saya tetap datang karena jujur saya cemas terjadi sesuatu padamu. Seperti saat ini."

Let it be LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang