"Bapak—tidak punya andil sedikitpun dalam kehidupan saya. Ja-jangan mengancam saya. Tolong. Pergilah..." mohon Inka terbata. "Saya... mohon."
Bola mata Arya bergerak tegas sekaligus penuh beban iba. Inka tak mampu menatapnya, Arya memaksa berada di sini karena dia kasihan. Padahal... padahal... Inka sudah berusaha keras menutupi apa yang terjadi padanya.
"Pada titik ini saya tidak akan pergi, meskipun kamu mengusir saya. Ini masalah serius... Inka."
"Tidak akan ada bedanya! Baik bapak mencari tahu atau tetap diam. Bapak hanya peduli dengan rasa penasaran Bapak dan... mengancam saya."
Emosi dalam diri Arya merambat naik, padahal dia dikenal sebagai pria yang tenang dan cuek, tapi kali ini, seperti ada yang mencekik batang lehernya. Dengan getar suara yang tak dapat diredam, Arya berbicara dengan nada yang sedikit meninggi.
"Jadi menurutmu begitu? Saya bertanya dan memilih mendesak hanya karena penasaran?? Bagaimana jika saya pergi saya justru mendengar berita kematianmu? Apa kamu pikir saya lebih menyesal kenapa tidak mengetahui segala cerita mengapa kamu memilih mengakhiri hidup dibandingkan menyesal karena tak berhasil menyelamatkanmu?!"
Air mata Inka menderas, langkahnya terus mundur hingga menyentuh ujung kasur dan tubuhnya sedikit limbung.
"Saya tidak akan kemana-mana. Saya benar-benar tidak akan kemana-mana kali ini! Sebelum saya menemukan solusi apa pun."
***
"Kamu sudah sarapan?"
Inka terkejut meski dia tidak menoleh sedikit pun. Inka duduk di sudut aman sambil menekuk lututnya. Suasana kamar terang oleh sinar matahari sebab Inka tidak bisa menutup pintunya, pria itu benar-benar duduk di sana tepat di pintu, dan menungguinya.
Inka mencengkeram lengannya lagi. Tidak menjawab. Tanpa seguk, tanpa suara, namun air mata Inka belum mau berhenti turun.
Satu jam berlalu. Yang diisi dengan suara Arya sambil melakukan panggilan telepon.
Dua jam berlalu. Masih sama, dia tetap bertahan di sana, menelepon sesekali.
Napas Inka semakin terasa berat. Bagaimana caranya dia memaksa Pak Arya pergi dari kamarnya? Dia bisa melakukannya, tetapi setelah itu Inka khawatir akan jauh lebih banyak orang yang akan datang ke sini.
"Saya—tidak bisa percaya, pada satu manusia pun."
Arya tersentak, dan menoleh, setelah sekian lama akhirnya Inka mengeluarkan suaranya.
"Tentu saja. Kamu punya agama, sebaiknya tetap berusaha percaya pada Tuhanmu."
Inka mematung sembari semakin memeluk lututnya. Tadi malam dia terjaga, sekaligus terganggu mendengar suara apa pun, terakhir yang sangat mengganggu dan membuatnya ketakutan adalah sebuah panggilan dari nomor asing di ponsel pribadinya. Inka kalap, gemetaran dan langsung membongkar sim card lalu mematahkannya.
Mengingat masa lalu, membuatnya semakin putus asa, Inka mengambil pisaunya yang masih baru dan mengarahkan ke nadinya. Saat itu keputusasaannya semakin menjadi-jadi, Inka kembali menangis mengingat hidupnya yang hancur berantakan sementara pria itu tetap bisa bersenang-senang di luar sana.
Setan seperti berkumpul merasuki pikiran Inka ketika berusaha mengetes apakah tubuhnya masih mampu merasakan rasa sakit. Jika seterbiasa itu Inka terhadap rasa sakit, apa pria itu kembali datang untuk menguji rasa sakitnya kembali?
Inka melirik tangan kirinya, ketika dia menyayatnya darah keluar, dan sakit itu menusuknya, tetapi Inka hanya diam, hingga sakitnya terasa kebas. Jika orang lain terbiasa bahagia, kenapa dia harus membiasakan diri dengan rasa sakit? Kenapa Tuhan begitu tak adil padanya??
![](https://img.wattpad.com/cover/324456541-288-k917576.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Let it be Love
Storie d'amore[Cerita ini telah tamat di Karyakarsa] Sinopsis : Masa lalu membuat Inka masuk ke jurang kehidupan yang baginya tak akan menemui jalan keluar. Dia menjalani kehidupan ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Hingga dia bertemu Arya, sebuah pintu akh...