Didorong oleh perasaan yang tak dipahaminya. Arya ingin pulang lebih awal. Sama seperti para pekerjanya. Padahal biasanya, jika tidak ada keperluan meeting Arya pasti menghabiskan waktunya lebih lama di toko untuk melihat tanamannya, atau lanjut kerja di kafe.
Apa yang dilakukan istrinya? Pertanyaan itu membayangi Arya seharian ini. Dan... rasanya dia seperti memiliki istri sungguhan, istri yang akan ditemuinya ketika pulang kerja. Apa ini juga yang dirasakan oleh Ayahnya? Itukah sebabnya Ayahnya menjadi lebih hangat setelah menikah dengan Mama Marsha?
Arya memasuki area tempat tinggalnya yang baru. Ketika membuka pintu unit apartemennya. Harum ruangan seperti tak asing sekarang, dan ya... tak ada cela, meski unit ini baru, Arya tahu Inka membersihkannya dengan seksama—bahkan kinclong. Arya sampai takut melangkahkan sepatunya yang pastinya penuh pasir dan tanah. Suasana sangat sepi. Arya melepas sepatu dan meletakkannya ke tempatnya, sebelum berjingkat-jingkat melewati lorong dan... tak ada siapa pun.
Arya menebak Inka berada di kamarnya. Sesuatu menggelitiknya, apa karena keberadaannya di sini istrinya tersebut jadi mengurung diri di kamarnya? Tidak berani keluar? Ya, Arya tidak berani memeriksa CCTV, dia cemas kepikiran banyak hal, apalagi mendapati wajah tak bahagia Inka.
Tidak harus sampai melihat Inka tersenyum, paling tidak Arya bisa merasakan Inka tinggal nyaman di sini. Namun, sepertinya sejak mereka tinggal bersama, Inka justru lebih kaku. Napas Arya terhela berat, dan segera masuk ke kamarnya.
Arya kembali melangkah, dan sesuatu menarik perhatiannya. Arya membuka penutup makanan. Arya menjadi kesal sendiri saat Inka menyiapkan semua hidangan ini untuknya, dengan cara seperti ini. Maksudnya, seperti seorang pembantu yang telah menyiapkan berbagai keperluan sementara sosoknya tidak terlihat.
Bibir Arya berkerut masam. Apa Inka tidak akan menampakkan batang hidungnya malam ini?
Napas Arya terhela. Semangatnya untuk pulang lebih awal tadi meredup. Arya ke kamar untuk segera membersihkan diri. Dia kembali ke meja makan, meski sendirian, Arya tahu dia harus menghargai apa pun masakan yang telah dibuat oleh Inka.
Alis Arya sedikit terangkat merasakan masakan Inka yang enak, sayangnya ayam gorengnya telah dingin. Sudut bibir Arya terangkat, ketika mengingat, mungkin dia akan mendapatkan masakan enak seperti ini setiap harinya.
Selesai makan, Arya menumpuk piring kotornya di westafel dan mulai mencucinya. Namun, sesaat dia mendengar suara pintu terbuka.
"Mas—biar aku aja yang cuci."
Arya tersentak menoleh.
Alis Arya bertaut. Apa Inka muncul untuk mencuci piring?? Apa sejak tadi dia menguping suara-suara di luar dari balik pintu?? Astaga... napas Arya terembus dalam.
"Tidak. Ini sedikit, dan aku yang makan jadi aku yang harus mencucinya."
"Enggak Mas, jangan. Itu kewajibanku."
Arya menatap sedikit lebih keras. "Lalu kewajibanku?"
Bola mata Inka sedikit melebar, dia melihat ke arah lain, dan berkata pelan. "Bukannya... Mas yang membayar pengeluaran bulanan kita?"
"Tapi sejauh ini aku masih berhutang. Karena kamu belum memberikan tagihan."
"Oh... itu nggak masalah."
Arya bermaksud memancing, tetapi sikap Inka justru menyatakan itu bukan masalah besar.
Arya menyelesaikan cuci piring dan gelasnya dengan sangat cepat karena memang hanya satu. Namun, meski sudah sangat cepat begitu pun, dia tetap melihat Inka segera membalik badannya.
Arya menahan decakan. Kapan dia bisa memiliki kesempatan lebih dekat dengan Inka? Bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga jarak antara batin mereka. Membayangkan dia memeluk Inka, dan membuat wanita itu membicarakan keluh kesahnya, seperti sebuah mimpi yang sangat sulit diraih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let it be Love
Romance[Cerita ini telah tamat di Karyakarsa] Sinopsis : Masa lalu membuat Inka masuk ke jurang kehidupan yang baginya tak akan menemui jalan keluar. Dia menjalani kehidupan ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Hingga dia bertemu Arya, sebuah pintu akh...