Bab 11

4.6K 981 106
                                        

Inka masih merasakan dirinya bergetar. Dia ingin melakukan sesuatu untuk membersihkan luka Arya namun tangannya menggantung kaku dan dingin. Rasa malu mengiris tulang belulangnya. Matanya memerah dan basah, tetapi tidak ada isak meski cairan bening itu terus menerus mengalir, hanya sorot takut dan bingung yang menyelimuti matanya.

Arya sekali lagi menoleh, cengkeramannya pada setir sangat kuat. Cemas lebih-lebih ada pada Arya. Sakit di bibirnya tidak seberapa, namun sikap Inka yang bahkan enggan menatapnya membuatnya resah.

Arya tahu wanita itu sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri. Tetapi Arya tak bisa menenangkan dengan semudah berucap 'tenanglah', 'tidak akan terjadi apa pun', 'semuanya baik-baik saja'. Arya hanya takut jika Inka bersikeras tidak ingin melanjutkan kesepakatan mereka.

"Hari sudah terlalu malam. Kita akan mencari penginapan."

Inka tersentak. Semua kejadian yang mengguncang ini tak membuatnya ingat harus melakukan apa?

"Inka," sebut Arya lagi.

Arya membasahi bibirnya, saat wanita itu belum juga mau menoleh padanya.

"Saya—punya kenalan untuk menginap malam ini."

"Orang-orang itu belum tentu mau menolongmu. Sedangkan saya berada di sini, jelas ingin menolongmu," seruan keras Arya bersamaan dengan titik titik air jatuh ke kaca mobil, dan lama-lama berubah deras.

Arya menekan rasa bersalahnya, karena Inka terlihat kembali mengeluarkan cairan bening dari matanya.

"Saya sudah berdarah seperti ini, dan kamu tetap ingin mundur? Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah dengan saya?"

Inka berjengit dan akhirnya menoleh getir. Arya membiarkan Inka syok dengan rasa bersalah yang melanda wanita itu, meski sudut hatinya tidak tega melihat Inka seperti ini.

"Kenapa Bapak begitu tak ingin saya mati?" bukan salah Inka, jika pria di sebelahnya ini terus mengikutinya, kan?

Arya menggeleng.

"Saya pun tidak tahu. Dan jika saya masih ada di sekitarmu, itu artinya belum waktunya kamu untuk mati. Selama saya masih ada di sekitarmu, tidak ada satu orang pun yang boleh berlaku kasar padamu," gumam Arya.

Napas Inka semakin tersengal, dengan bibir terbuka.

Arya menyodorkan botol minumannya lagi yang tadi sempat ditolak Inka. Inka memperhatikan botol mineral yang jelas masih tersegel itu menggantung di udara.

Bibir Arya mengatup keras namun matanya menyorot sendu. Tak berapa lama, wanita disampingnya itu mengambil minuman pemberiannya.

***

Bahkan dari kejadian singkat namun sangat mengguncangkan itu Arya sudah bisa melihat bagaimana hubungan Inka dengan ayahnya.

Pikiran Arya terus berputar jauh, membayangkan seandainya Ayah Inka tahu tentang video tersebut. Ayahnya jelas tidak akan melindunginya, sedangkan Ibunya tidak punya kekuatan apa-apa untuk menolongnya. Pantas saja wanita itu lebih memilih mati, batin Arya semakin gusar.

Hanya dalam hitungan minggu hidup Arya seperti menaiki roller coaster. Kenapa dia terlalu peduli pada wanita itu? Bahkan hal itu juga berulang kali ditanyakan Inka. Arya sendiri tak tahu, dia hanya mengikuti bisikan kuat dari hatinya.

Arya semakin tidak mampu membayangkan jika dia tidak nekad menyeret Inka untuk ikut dengannya tadi. Mungkin saja wanita itu akan segera pergi dari rumah orang tuanya, dan... ke suatu tempat yang tak, tahu... napas Arya mendadak tersekat.

Tetapi bukankah, dari kamar sebelah, Inka bisa saja pergi?

Sial! Arya baru menutup pintu kamar hotel, belum membersihkan diri. Dan berbagai pikiran buruk sudah langsung memburunya.

Let it be LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang