Bab 3

6.4K 1K 42
                                        

Inka memberikan dengan sopan kepada Pak Arya beberapa lembar kerja yang telah di print-nya sebagai contoh merangkum laporan yang telah dikerjakannya.

Sebenarnya Pak Ibnu tidak memberikan Inka arahan begitu detail seperti ini. Ini hanya inisiatif pribadi dari Inka agar dia bisa tetap bekerja berjauhan tanpa kemungkinan ditanyai oleh Pak Arya.

Arya menerima beberapa lembar kertas yang telah diklip tersebut dengan ekspresi serius dan lekat. Dimulai dari judul, kolom-kolom informasi dari beberapa laporan yang dibuat oleh Inka sangat rapi dan mudah dimengerti. Kolom tersebut memuat judul informasi yang dibutuhkan dengan data yang diisi dalam sekali lihat sudah dapat dipahami. Bahkan disertai diagram bulanan.

"Ini softcopy-nya," ucap Inka sembari menyerahkan flashdish.

Arya tidak ingin melakukan terlalu jauh sampai seperti ini. Jika dia tiba-tiba tidak menampakkan batang hidung lagi. Arya akan dianggap tidak kompeten dan hanya mengandalkan nama besar Ayahnya, keluar masuk sesuka hati.

Untuk hal itu, Arya bisa saja membereskan sebelum terlalu jauh. Tetapi, ada hal lain yang justru mengganggu Arya. Dia khawatir Ayahnya berharap lebih padanya. Napas Arya terembus berat, seharusnya sejak awal dia menolak membantu Mamanya, hanya saja... astaga, kenapa dia bisa sampai terjebak dalam situasi ini.

Arya memicing, saat Inka mulai meletakkan map-map besar tersebut ke atas meja, juga mengatur laptop yang dibawanya. Dagu Arya sedikit terangkat. Wanita ini akan bekerja di sini?

"Apa yang kamu lakukan?"

Inka tersentak, menoleh begitu kaget. Sepertinya ada bagian penjelasan yang terlewat darinya.

"Saya—akan membantu Bapak, karena itu perintah langsung dari Pak Ibnu."

"Bukankah, kamu sudah sangat membantu?" ucap Arya merujuk pada flashdish yang dipegangnya.

"I-iya. Tapi mungkin ini terlalu banyak untuk diselesaikan sendiri."

"Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Sudah ada yang membantu untuk menggantikan sementara."

Meski sorot mata Pak Arya mengarah padanya, jelas pria itu tampak sedang berpikir.

"Baiklah," gumam Arya.

Inka mengangguk kikuk, lalu meletakkan sebagian map ke atas meja Arya. Sebelum dia kembali dan duduk di sofa, mulai melakukan tugasnya.

Ada sedikit gerak gugup di sana, yang sepertinya tak mampu di tutupi wajah profesional itu, batin Arya. Ayahnya terlalu mengada-ada dengan menempatkan Inka di sini. Atau sebenarnya ada tugas lain? Menyuruh Inka memata-matainya, misalnya? Kenapa Arya baru kepikiran sekarang?

Sudah lebih dari dua jam hanya suara keyboard yang menghiasi ruangan. Arya menyadari betapa kakunya wanita yang berada dalam satu ruangan dengannya itu. Arya beranggapan demikian sebab sejak tadi, meski dengan punggung yang dipaksa menekuk wanita itu tetap tidak pernah menengadahkan tatapannya ke mana pun.

Inka benar-benar mempertahankan posisi duduknya. Tidak perlu kekuatan cenayang, dalam dua jam ini Arya sudah mengamati, jika sebenarnya wanita itu tak nyaman satu ruangan dengan Arya, namun dia tetap harus berada di situ karena pekerjaan yang menuntutnya?

Arya meyakini pendapatnya sedari awal sudah benar, Mamanya hanya berlebihan. Meski—ya, Arya akui wanita ini memang cantik. Istilah lain, jika pun tidak ada niatan menyeleweng, pria mana pun pasti senang memandangnya.

Termasuk dirinya? Arya tak bisa membuat dirinya menjadi pengecualian, meski dia tidak berfokus menatap Inka, ada segudang urusan yang harus dibereskan, masalah yang harus diselesaikan. Memikirkan kecantikan wanita adalah urutan paling belakang.

Let it be LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang