Bab 10

4.9K 960 112
                                        

"Cepat mandi Arya... kami tunggu!"

Arya terkejut melihat ke arah suara. Mamanya ternyata sedang menuju ke ruang makan dan mendapatinya. Saking penuhnya pikiran Arya dia sampai tidak menyadari kehadiran siapa pun. Dan jika sudah begini, Arya tidak mungkin mengelak. Dia pulang untuk membersihkan diri, dan mungkin ke suatu tempat yang cukup sepi untuk kembali memastikan jawaban Inka—atau paling ekstrem dia kembali ke kosan wanita itu.

"Arya!" ulang Mamanya.

"Hm," gumam Arya, dan lanjut melangkah ke kamarnya. Hari belum terlalu malam, apa sudah waktunya dia langsung bertanya kembali? Apa waktu tiga jam cukup bagi Inka untuk memikirkan tawarannya? Rasanya belum cukup.

Arya menghela napas berat, dan mandi, sebelum turun untuk bergabung dengan keluarganya di meja makan.

"Lagi banyak kerjaan?" tanya Ayahnya.

Ekspresi Arya sedikit kaget. Lalu mengingat sudah beberapa hari dia tidak tidur di rumah, dan tidak ke kantor Ayahnya. "Ya... lumayan."

Arya tidak mengerti dengan dorongan dalam dirinya, dia hanya ingin cepat selesai makan malam. Arya bahkan membawa serta ponselnya yang tak pernah-pernahnya diletakkan di atas meja ketika makan. Tetapi tak ada satu pun pesan yang masuk ke nomor pribadinya tersebut.

Lutut Arya terus menerus bergoyang. Dia makan dengan tak tenang. Aira menoleh ke arahnya, dan Arya melirik kaku, saat mata Aira menyipit, Arya lanjut makan. Aira dan Mamanya sebelas dua belas, seperti detektif bagi kehidupan pribadinya.

Selesai makan, dan adik-adiknya bermain rusuh, menanyainya cara bermain game terbaru yang Arya sendiri juga sudah lama tidak main. Begitu mendapat kesempatan, Arya langsung menghilang ke kamarnya, dengan alasan banyak pekerjaan.

Arya buru-buru masuk ke kamar dan menguncinya. Pukul sembilan, Arya yakin ini waktu yang tepat, sebelum terlalu malam, dan Inka bisa saja beralasan sudah tidur.

Dengan nadi yang berdenyut, Arya berjalan hingga tangannya memegang kusen jendela. Dia meyakini semua ini harus dilakukannya, Arya meletakkan ponsel ke telinga setelah menekan tombol menghubungi Inka.

Di tempat lain. Inka membiarkan televisi menyala, sementara dia termenung, air mukanya tanpa ekspresi, merasa sangat lelah. Dia sudah mencoba menjejalkan berbagai macam kemungkinan dan ujungnya tetap buntu, Inka merasa jiwa dan hatinya lumpuh.

Ponsel Inka menyala, Inka sengaja mematikan deringnya. Tetapi nama itu muncul, cemas yang dirasakannya bukan dalam bentuk ketakutan ketika nomor baru muncul. Cemas yang dirasakan Inka saat ini adalah, bagaimana dia harus menjaga perasaan orang yang ngotot membantunya ini?! Inka benar-benar bingung harus bersikap seperti apa?

Inka tidak ingin meraih ponselnya, tetapi tangannya seperti mengkhianati.

"Halo," suara itu terdengar hati-hati.

Inka tersenyum miris, dia tidak ingin mengeluarkan air mata lainnya. "Pak. Saya tidak bisa," putus Inka.

Tak ada sahutan, untuk beberapa detik.

"Kamu sudah benar-benar memikirkannya?"

Tidak. Inka bahkan tidak tahu apa yang paling tepat sekarang, selain air putih yang diminumnya untuk mengganjal perutnya yang lapar.

"Inka."

"Tolong. Jangan ganggu saya lagi."

"Bukankah kamu bilang lelaki itu datang ke rumah orang tuamu? Cepat atau lambat dia pasti menemuimu. Kamu sudah menemukan cara lain? Beritahu saya, agar saya tidak mengganggumu lagi."

Inka tidak menjawab.

"Ya, saya yakin dia tidak akan menyebarkan video itu sebelum menemuimu dan mendapatkan yang dia mau. Tetapi apakah ada jaminan dia tidak akan datang lagi ke rumah orang tuamu?"

Let it be LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang