"Jangan salahkan aku, jika aku mulai menaruh harapkan kepadamu. Sudah jelas ini adalah salahmu yang terus saja bersikap seperti ini kepadaku."
.
.
Hari ini merupakan hari yang sangat menyenangkan bagi sebagian besar siswa karena para guru tengah mengadakan rapat dadakan sehingga jam pelajaran saat ini kosong. Para siswa pun berhamburan keluar kelas untuk bermain. Namun, tidak semua seperti itu. Beberapa siswa lebih suka bermain di dalam kelas karena matahari siang sangat terik di lapangan dan sisanya memilih untuk menjadi bagian dari kantin.
Disinilah aku. Menghabiskan waktu luangku di dalam kelas sambil menggambar apapun yang terlintas dibenakku. Suasana kelas sedikit tenang karena sebagian siswa pergi keluar, entah ke kantin atau bermain di lapangan. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama untukku.
"Rama! Balikin, gak?!" Teriakku seraya mengejarnya. Bayangkan saja. Rama mengambil benda kesayanganku dan membawa kabur benda itu.
"Wleee... kejar kalo bisa!" Teriaknya seraya terus berlari mengitari kelas.
"HIHH AWAS AJA!" Aku berusaha mempercepat lariku yang sedikit tersedat karena bangku dan meja.
Ah! Aku menemukan celah. Ada bangku yang kosong karena ditinggalkan penghuninya. Aku segera memotong jalanku dengan melewati jalan sempit diantara kursi dan meja itu.
Damt it! Ini jebakan. Kenapa tiba-tiba Dipa bisa muncul di hadapanku? Dia menghalangi jalanku!
"Minggir!" Pintaku kepada Dipa.
"Eits gabisa. Aku mau duduk. Kamu kalo mau lewat, muter, dong." Jawabnya seraya landing di tempat duduknya.
"ISH!" Aku terpaksa memutar badan. Namun...
P..Putra? Aku sangat terkejut. Ternyata aku sedang memasuki kawasan Putra. Bagaimana ini? Aku tidak tau harus berkata apa.
Seperti biasa, Putra hanya diam dan kembali menempati kursinya, seperti tidak ada apapun yang sedang terjadi. Gawat! Aku terjebak diantara mereka berdua.
"Umm... anu..." Aku bingung, kenapa bisa sesulit ini untuk berbicara dengan Putra, sih?
Putra menoleh ke arahku. Masih dengan ekspresi datarnya, ditambah sebelah alis yang terangkat. Aku semakin gugup dibuatnya. Aku memberanikan diri menatap Putra. Jemariku sudah mulai meremas rok merahku. Entah mengapa, rasanya aku sangat gugup ketika berhadapan dengan Putra.
"Permisi... aku mau lewat." Ucapku setengan gugup.
"Gak." Jawabnya datar seraya memalingkan pandangannya dariku.
"Ah?" Aku mulai frustasi. Kenapa aku bisa terjebak diantara dua cogan ini?!
"Ahaha rasain!" Rama yang melihatku terjebak, tak melewatkan kesempatannya untuk mengejekku. Aku hanya melempar tatapan sinis kepadanya.
Aku kembali merengek kepada Dipa. "Dip, biarin aku lewat..."
"Gak boleh." Dipa bersikeras.
"Diipaaaa....." Aku masih tetap merengek kepada laki-laki tinggi dihadapanku ini. Dipa hanya menatapku dengan senyum jahilnya.
Tidak ada kemajuan. Aku harus melakukan cara terakhirku. Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Aku berusaha agar terlihat seperti orang yang sedang menangis. Semua temanku tau, aku memang sering menangis dalam diam. Tidak ada isakkan, hanya ada kehening dan wajah yang tertutupi oleh telapak tangan, yang perlahan mulai membasah karena air mata.
"Eh? Nah, lewat dah. Jangan nangis, dong. Gitu aja, kok nangis?" Sontak Dipa berdiri dan memberi jalan kepadaku. Ya, Dipa tidak ingin berurusan dengan perempuan, apalagi sampai membuatnya menangis.
Aku melangkah maju, melaluinya, masih dengan wajah yang tertutup oleh telapak tangan. Aku mengintip dari sela-sela jari untuk melihat jalanku.
Aku masih menutup wajahku, hingga sampai pada mejaku. Aku duduk dan menenggelamkan wajah dalam lipatan tanganku, di atas meja.
"Feb, jangan nangis, dong." Suara serak itu, suara khas seorang Rama. Aku yakin dia sudah berdiri di depan mejaku sekarang. Aku tak menggubrisnya.
"Nah, aku kembaliin pulpennya." Terdengan seperti suara benda kecil yang berbenturan dengan permukaan kasar meja. Rama menaruh benda yang tadi diambilnya, di atas meja, di dekatku. Aku masih tetap dengan aktingku.
"Febby cantik, jangan nangis! nanti cantiknya ilang." Ucapnya seraya memainkan rambutku yang menutupi wajahku. Aku tau itu hanya sebuah hiburan, saja. Dia hanya bermaksud untuk memperbaiki kesalahannya saja. Tidak lebih. Namun saat itu, aku masih bocah.
"Maaf." Dia berhenti memainkan rambutku. Entah kenapa setelah mendengar kata itu, sebuah senyum kemenangan terukir dibibirku. Aku masih dengan posisi yang sama, hanya saja tangan kananku mulai bergerak untuk mengambil barang itu.
Dapat! Aku sontak menegakkan badanku dan memastikan jika yang aku genggam memang benar adalah milikku.
"YES!" Aku melempar senyum kemenangan kepada Rama.
"Bangke!" Aku tertawa puas melihat ekspresinya. Dan dia hanya tersenyum lega.
"Awas aja, lain kali gak aku kembaliin!" Dia pergi dari hadapanku.
"Oh ya?" Aku kembali berkutat dengan tugasku.
Siapa sangka jika sebuah perasaan yang aneh mulai tumbuh dalam diriku karena kelakuannya padaku. Aku takut dengan perasaan ini. Aku merasa aku mulai menyukainya. Bukan hanya karena wajahnya yang semakin hari semakin rupawan, tapi juga karena perlakuannya yang selalu membuatku menjadi salah paham dengannya.
Ingatan saat kami berdua terus-terusan bertengkar selama menjadi rekan satu meja, ketika kelas dua SD, masih terasa segar. Aku pernah membuatnya menangis, begitu juga dia. Namun setelah dipertemukan kembali, menjadi rekan satu meja lagi, saat kelas tiga SD, aku mulai merasa terbiasa dengannya. Aku sadar, sebenarnya dia orang yang lembut, juga perhatian, berbeda dengan kelihatannya. Rasanya, semakin aku mengenalnya, semakin aku mengaguminya.
Mungkin perasaan ini hanya sebatas rasa kagum saja.
Aku harap begitu.
—»◊«—
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something About Me
Ficção Adolescente[ Teruntuk kalian yang sedang merindukan masa kecil kalian ] Happy Reading... *** Hanya sebuah kenangan yang tidak bisa dilupakan. "Bukannya tidak bisa, hanya saja aku tak ingin melupakannya. Mungkin ini terlalu indah untuk dilupakan." . .