"Mungkin akan lebih baik rasanya jika antara aku dan kamu hanya sebatas teman saja."
🌿🌺🌿
.
.
Pagi ini adalah hari dimana kelas empat mendapatkan pelajaran olahraga. Setiap hari Rabu, wali kelas kami akan menyuruh kami melakukan pemanasan dengan berlari menaiki bukit di belakang sekolah.
Sebenarnya itu bukan bukit rimba seperti yang kalian bayangkan. Bukit itu sudah menjadi perumahan, lebih tepatnya. Dan pastinya pemandangan yang dipaparkan dari atas bukit itu tidak kalah indahnya, sehingga memiliki suatu daya tarik tersendiri.
Setelah melakukan pemanasan, ketua kelas memimpin kami untuk membentuk dua barisan, sebelum berlari kecil ke sebuah jalan, disamping sekolah, yang adalah jalanan menuju perumahan itu. Sementara wali kelas kami hanya menunggu di sekolah.
Namun kalian pasti tahu betul, jika sudah tidak ada pengawasan dari guru, maka barisan yang tadinya rapi pasti bisa menjadi berantakan. Dan itulah yang terjadi ketika kami sudah berada sedikit jauh dari sekolah. Masing-masing mencari teman sendiri, tidak betah jika terus bersebelahan dengan barisan putra-putri begini.
Akupun sama, mencari sahabat karibku, Diah. Ya walau Diah berlari paling belakang dikarenakan morfologi tubuhnya, aku rela memerlambat langkahku untuk menyeimbanginya. Hitung-hitung juga untuk menghemat tenaga sambil berjalan. Curang sedikit, lah ya.
"Ayo Diah semangat!" Aku berusaha menyemangati Diah, yang nampak sudah kewalahan.
"Capek." Diah berhenti berlari, padahal ini masih separuh jalan.
Teman-teman kami yang lain sudah agak jauh didepan, sementara para siswa laki-laki sudah berbalik arah, sebab sudah mencapai batas jalan, di atas bukit.
"Balik dah yok." Pinta Diah lemas.
"Yahh... dikit lagi kok. Ayok!" Aku menarik tangan Diah, namun kalian bisa tebak jika itu percuma.
"Huuh, yaudah deh balik aja. Jugaan cowok-cowoknya udah pada balik." Aku menyerah. Diah memang tidak jago dalam hal berlari.
"Hayok." Diahpun membalikkan badannya dengan malas. Kamipun memutuskan untuk curang, lagi. Ya setiap olahraga memang selalu saja begini.
"Woy curang! Gak boleh gitu!" Teriak salah satu cowok dari arah belakang kami.
"Biarin! Kalo Diah pingsan emang kamu mau ngangkat? Hah?" Aku langsung berdebat dengannya ketika tau siapa pemilik suara itu. Itu Yoga, murid ternakal di kelas. Sebenarnya aku sedikit takut dengannya, namun sebenarnya Yoga itu orangnya baik, walau itu hanya kadang-kadang saja.
"Waduh, mana bisa aku yang cungkring gini ngangkat gajah." Yoga tertawa setelah melempar ejekannya.
"Gajah mulutmu! Awas kamu ya!" Amarah Diah terpancing keluar. Diah sontak melepaskan sepatu kanannya dan sudah berancang-ancang untuk melempar sepatunya itu, ke arah Yoga. Beginilah jika Diah sudah marah. Dia tidak akan segan-segan untuk melayangkan sepatunya itu. Ya Diah memang tidak suka jika dirinya diejek. Memang siapa yang suka diejek?
"Wlee gak kena." Yoga yang berhasil menghindar, dia kembali mempercepat larinya, meninggalkan aku dan Diah yang semakin marah.
"Huuft. Jahat!" Kesal Diah seraya mengambil kembali sepatunya, yang jatuh tak terlalu jauh darinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Something About Me
Fiksi Remaja[ Teruntuk kalian yang sedang merindukan masa kecil kalian ] Happy Reading... *** Hanya sebuah kenangan yang tidak bisa dilupakan. "Bukannya tidak bisa, hanya saja aku tak ingin melupakannya. Mungkin ini terlalu indah untuk dilupakan." . .