Chapter 12

88 10 0
                                    

--- CELINE POV. ---

"Valentine Day," ucapku tanpa berpikir dua kali saat mendengar syarat dari Ghia. Sesuai rencana Nina dan diriku tadi. Valentine Day aku dan Ghia harus menghabiskan waktu bersama seperti layaknya sepasang kekasih. Semoga setelah itu, kami bisa melanjutkan hubungan itu terus dan bukan hanya untuk sekali saja.

Ghia menganggukkan kepala setelah mendengar jawabanku. "Okay. Aku akan mengajakmu kencan dan menunjukkan semua yang kamu perlu pelajari dan ketahui soal dating cewek. Setelah itu, kamu bisa gunakan untuk memikat Nina. Jadi pelajari dan dalami dengan baik kencan kita di Valentine nanti," jawabnya dengan mendetil.

Tanpa aba-aba, Ghia mencium bibirku dengan lembut. Aku yang tak siap diam mematung sejenak, namun bibirnya yang terus bergerak pelan dan lembut berhasil membuaiku. Mataku terpejam dengan sendirinya dan membalas ciuman Ghia. Perlahan tanpa tergesa, lembut tanpa menuntut. Bibir kami bergerak seirama seolah telah lama saling mengenal pasangannya.

Jangan tanyakan perasaanku yang membubung tinggi, juga detak jantungku yang tak karuan. Bibirnya manis, dan bisa kurasakan pasta gigi mint yang Ghia selalu gunakan. Ini adalah ciuman terbaik yang pernah kualami, aku yakin 100% dengan penilaian ini. Sebab aku tak pernah merasakan kenikmatan seperti ini sebelumnya.

Saat bibir kami berpisah, napas kami yang saling berkejaran, menyapu wajah satu sama lain dalam posisi kening kami yang masih menyatu. Perlahan kubuka mataku untuk menemukan dua bola mata makhluk yang berhasil membuatku terengah hanya dengan ciumannya. Bola mata hazel yang selalu kusukai itu kini menghilang dibalik pupilnya yang membesar.

"Begitu caramu mencium seorang perempuan," ucapnya tanpa menjauh sedikit pun dari posisi ini. Suaranya yang lirih saat mengatakan semua itu membuatku merasa semakin gila. Aku menginginkan bibirnya lagi. Aku ingin semuanya, semua yang ada pada Ghia.

Dengan segenap keberanian, kembali kupersatukan bibir kami. Kulumat bibirnya dengan setiap cara berciuman yang kutahu. Aku ingin dia tahu seberapa frustasi diriku karenanya, karena bibir manisnya, dia telah menjadi candu bagiku. Namun perlahan kurasakan dia mendorong bahuku dan memaksa bibirku menjauh. Penuh rasa kecewa aku menghentikan seranganku kepadanya. Shit, Celine! Control yourself, woman! Makiku pada diriku sendiri.

Ghia tersenyum padaku sangat lebar, namun matanya tidak tersenyum dengan cara yang sama. Seolah ada sesuatu yang Ia sembunyikan. Apakah mungkin Ia sebenarnya tak nyaman dengan semua ini? Apa dia merasa risih dengan permintaanku? "Good. Kamu sudah belajar dengan baik. Itu baru pelajaran pertamamu. Sekarang kita tidur dulu, karena sudah larut malam. Dan besok kita masih ada kelas. Okay?" ucap Ghia yang sebenarnya tak memberikan ruang debat.

Dia telah menata kasur dan merapikan posisi bantal guling agar lebih nyaman untuk kami berdua tempati. Mungkin sebaiknya aku memberi ruang bagi Ghia dengan tidak tidur di kamarnya. Mungkin dia butuh waktu untuk memikirkan permintaanku, bisa saja dia berubah pikiran besok. Tapi kalau memang itu yang diinginkan oleh Ghia, aku tidak akan memaksa. Mungkin aku perlu mencari cara lain untuk mendekati Ghia, bukan dengan cara ini. Mungkin seharusnya aku jujur padanya mengenai intensiku melakukan semua ini.

Seluruh pikiranku yang susul menyusul mengenai berbagai kata mungkin terhenti ketika tangan Ghia menarik lenganku untuk berbaring dalam dekapannya. Kutatap wajahnya yang tampaknya mencoba untuk rileks. Hanya sekejap aku menatap wajahnya, namun perutku sudah dipenuhi dengan jutaan kupu-kupu yang beterbangan. Cantik.

Lampu dipadamkan oleh Ghia, dan hanya sedikit yang bisa kutangkap dari siluet wajahnya. Namun aku yakin kalau dia masih membuka matanya. Jantungnya juga masih berdegup dengan kencang, sangat terdengar dengan posisi telingaku yang menempel pada dadanya. "Relax, Ghi. Kita gak perlu melakukan semua ini kalau kamu gak nyaman," ucapku berusaha memecah keheningan yang menjadi semakin kikuk.

Gelengan kepala Ghia membuatku menghembuskan perlahan napas yang tak kusadari telah kutahan sejak mengucapkan kalimat tadi. "Ayo kita tidur," bisik Ghia kemudian memeluk tubuhku lebih erat. Aku mencintainya. Persis seperti ini aku tak ingin waktu berlalu, tak ingin pagi datang. Aku ingin bersama Ghia di malam yang lebih panjang, sebab seperti ini saja sudah terasa sempurna.

*********

--- GHIA POV ---

Aku terbangun bahkan sebelum alarmku untuk salat subuh berbunyi. Ada rambut cokelat yang menggelitik wajahku dan bahkan beberapa masuk ke dalam mulutku. Tentu saja hal itu membuat tidurku terganggu dan terbangun. Tapi tidak akan ada komplain yang keluar dari mulutku, karena penyebabnya adalah makhluk yang paling aku inginkan untuk ada di sisiku setiap saat, bahkan saat tidur. Posisi dan wajah tidurnya sungguh menggemaskan. Mulutnya sedikit terbuka dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Tanpa kusadari bibirku telah mendarat pada keningnya, tanganku telah menyibakkan rambut cokelatnya yang menutupi wajah. Cantik sekali. Mungkin ini saatnya lagu Aerosmith – I Don't Want to Miss a Thing berkumandang sebagai backsound. Atau malah lagu Radiohead – Creep yang pas untuk moment ini. Entahlah. Mana pun lagu yang menjadi backsound untuk adegan kali ini tidak sepenting bagaimana aku bersyukur dapat melihat perempuan cantik ini di ranjangku dan tertidur pulas.

Nina. Dia melakukan semua ini untuk Nina. Dia mempelajari semua ini hanya untuk mengambil hati perempuan lain. "Cel, daripada untuk Nina, kenapa tidak kau berikan saja hati itu untukku? Kau tak perlu susah belajar, karena aku akan mengajarkan semuanya untukmu. Sampai kamu mahir mencintaiku," ucapku dengan berbisik pada sosoknya yang terlelap. Tanganku terus membelai kepalanya dengan lembut, berharap dapat menyalurkan rasa sayangku padanya.

Dengan berat hati aku meninggalkan Celine yang masih terlelap, sebab beberapa menit lagi sudah waktu untuk salat subuh. Alarm ponselku dan milik Celine sudah kumatikan, sehingga tak akan mengganggu tidurnya. Membuka ponsel satu sama lain sudah menjadi kebiasaan yang lumrah bagi kami berempat, namun tentu kami juga tidak pernah melanggar privasi satu sama lain.

Meski demikian untuk pertama kali aku melanggar privasi Celine. Bagaimana mungkin aku tidak tergoda saat menemukan chat Nina di pop up notification ponselnya. Di sana jelas tertulis bagaimana Nina senang karena berhasil mengajak Soleil untuk menjadi Valentine datenya. Hufft. Celine yang malang. Jelas saja dia memintaku untuk mengajarinya memikat perempuan, karena ternyata perempuan yang dia sukai malah mengejar Soleil.

"Celine. Celine. Sungguh tidak bisakah hati itu untukku saja? Kenapa harus kau sia-siakan untuk orang-orang lain yang tak akan menjaganya dengan sungguh? Kenapa harus kau berikan untuk orang yang sama sekali bahkan tak melihatmu sebagai sesuatu yang spesial. Sebagai dirimu apa adanya."

Tentu saja semua gumamanku tadi hanya didengarkan oleh dinding dingin ruang kamarku. Sebab makhluk yang seharusnya mendengarnya, masih bahagia di dunia imajinasi. Lihat saja senyuman manis di wajahnya itu. Dia pasti sedang bermimpi indah. "Bisakah kau memimpikan aku saat tersenyum semanis itu dalam lelapmu?"

Pertanyaan dan permintaan bodoh. Aku tahu itu, tapi itu tak menghentikanku untuk berharap. Haruskah aku menikmati proses belajar mengajar konyol ini dengan Celine? Atau seharusnya aku berhati-hati untuk menjaga hatiku agar tak remuk semakin parah menjadi serpihan yang tak dapat disatukan dengan lem apa pun lagi nantinya?

*********

Malam - Buku 3 dari Trilogi Our UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang