Chapter 9

432 56 6
                                    

--- CELINE POV. ---

Hari ini giliran kelompokku untuk presentasi di depan kelas mengenai tugas yang aku dan Nina telah kerjakan. Beruntung sekali aku sekelompok dengan orang yang rajin, dan bukannya malas-malasan hanya menumpang nama saja. Mami bahkan suka dengan karakter dan sifat teman baruku ini. Ya beberapa waktu ini memang aku banyak menghabiskan waktu mengenal Nina, teman baruku. Tentu saja aku jadi punya waktu untuk mengenal Nina karena sahabat-sahabatku yang lain cukup sibuk, terutama Soelil dengan drama kisah cintanya.

"Jadi, gimana seleksi futsal kemarin?" tanyaku ingin tahu pada Nina sambil menunggu dosen masuk.

Nina hanya mengedikkan bahunya. "Ya biasa aja." Tapi tak lama kemudian tersenyum dengan lebar seolah mengingat sesuatu yang menyenangkan. "Eh, tapi kemarin sebelum sampai lapangan futsal, gue sempat ketemu seorang cewek. Cantik beutss," cerita Nina dengan semangat. Tentu saja aku jadi semakin penasaran, apakah Nina ini belok.

"Oh ya? Anak mana? Siapa namanya? Lo suka ya?" tanyaku langsung memberinya serentetan pertanyaan yang kemudian membuat kami berdua sama-sama tertawa.

"Eh, tapi lo gak ada masalah kalau gue suka cewek kan?" tanya Nina dengan ragu. Aku kembali tertawa mendengar pertanyaannya.

"Ya gak apa lah. Orang sahabat gue aja ada yang lesbian, tinggal serumah juga sama gue," jelasku padanya untuk menghapus keraguan dan ketakutannya.

Mendengar jawabanku, Nina langsung saja melanjutkan ceritanya dengan semangat. "Jadi gue belum tahu sih dia anak jurusan mana, yang jelas cantik. Kemarin gue gak sengaja nabrak dia sama temennya pas mau ke lapangan futsal. Cewek yang gue tabrak namanya Soleil, temennya Ghia."

"Wait. Wait. Mereka itu sahabat gue. Kan lo udah sempet gue kenalin ke Ghia dulu," ujarku mengingatkan Nina. Dia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia mengingat kejadian perkenalan dia dengan Ghia. "Jadi yang mana yang lo suka?" tanyaku kembali dengan was-was. Jangan Ghia, please jangan Ghia, batinku.

"Itu yang namanya Soleil. Cantik banget, lembut juga. Kalau Ghia aduh serem dah. Dingin banget, terus dia kayak udah siap mau nonjok gue aja," jawab Nina yang membawa kelegaan bagiku. Fiuh, untung bukan Ghia. Aku tertawa saja mendengar penjelasan Nina atas sosok Ghia. Jujur aku tidak pernah tahu kalau Ghia bisa memasang wajah yang menakutkan seperti penjelasan Nina.

Sepertinya aku harus memberikan kabar buruk untuk Nina. "Lo pikir-pikir dulu deh sebelum mau dapetin Soleil. Dia itu dari dulu sampai sekarang cintanya cuma sama satu orang, dan sayangnya orang itu benci sama dia," ceritaku sedikit untuk memberi gambaran pada Nina akan situasi yang ada.

"Lah kan. Bego banget tuh cowok. Anak kampus ini juga?" tanya Nina lebih lanjut. Sepertinya dia semakin penasaran.

"Bukan cowok, tapi iya dia anak kampus ini. Harusnya kemarin lo udah ketemu sih sama tuh orang. Ravindra, anak yang ikutan seleksi futsal kemarin."

Mata Nina langsung membulat dan terbelalak mendengar jawabanku. "Pantas saja kemarin Soleil ada di lapangan futsal. Padahal si Indra lagi mesra-mesraan sama ceweknya. Gila, pantes saja Soleil nangis gitu. Gue kira karena gue gak sengaja nabrak dia. Wah gak bisa dibiarin nih cewek sebening Soleil begitu. Lo bantuin gue PDKT dong sama Soleil," ucap Nina merengek padaku.

Ini orang kelihatan keren luarnya saja, ternyata dalamnya juga tetap manja. Sebenarnya kalau dipikirkan kembali, Soleil memang sudah terlalu lama tersakiti oleh Indra. Sudah saatnya dia move on, dan siapa tahu teman baruku ini bisa membuat Soleil melupakan Ravindra. "Oke gue coba bantuin lo. Tapi ada syaratnya," ucapku dengan ragu pada kalimat terakhir.

"Ah elah. Apaan syaratnya? Kayak ke dukun saja pakai syarat," gurau Nina dan kembali memasang wajahnya yang sangat bersemangat.

"Pertama, kalau Soleil gak mau sama lo, lo gak boleh maksa." Nina menganggukkan kepala dengan cepat. "Kedua, kalau Soleil jatuh cinta sama lo, lo gak boleh nyakiti dia." Kembali Nina menyetujui, kali ini dengan mengacungkan jempolnya. "Ketiga, lo bantuin gue PDKT sama orang yang gue suka."

"Deal! Itu sih gampang. Lo cantik, seksi, pintar, pasti gampang dapetin orang yang lo mau. Lo aja yang kurang..." ujarnya dengan sangat percaya diri. Tunggu saja sampai aku menyebutkan siapa orangnya.

"Bantuin gue PDKT sama Ghia," ucapku memutus kalimat Nina di tengah jalan. Tentu saja reaksinya setelah itu adalah melongo seperti orang bodoh. "Iya. Ghia, sahabat gue," ujarku kembali memastikan ucapanku yang sebelumnya. Nina tampak tertegun dan sepertinya berusaha memahami kalimat yang sudah kukatakan dengan lebih baik.

"Lo gila atau apa? Kalau suka sama sahabat lo sendiri ya tinggal bilang kan. Apa coba susahnya? Kalian itu sudah dekat sekali, mau PDKT seperti apa lagi?" tanya Nina dengan geram, sembari mengaitkan dua jari telunjuknya. Menekankan seberapa dekat hubunganku dan Ghia.

Nina hanya tidak paham bahwa justru karena itu aku susah sekali mendekati Ghia untuk menjadi kekasihku. Aku dan Ghia dekat, sangat dekat, tapi sebatas sahabat. Memang dengan melakukan hal ini, pasti akan beresiko merusak persahabatan kami semua, tapi aku juga sudah tidak tahan. Berganti pacar berkali-kali, membuatku sadar kalau memang tidak ada seorang pun yang bisa membuatku jatuh cinta seperti Ghia. Membuatku sadar kalau yang aku mau hanyalah seorang Ghia dengan setiap ulah konyolnya, rusuhnya, mulutnya yang suka berkata hal-hal cabul. Semua itu membuat Ghia menjadi seorang Ghia, dan membuatnya cukup untuk mewarnai hari-hariku.

"Gue gak gila, Nina. Gue memang dekat sama Ghia, tapi just best friend. Gue mau lebih. Gue mau dia berhenti ganti-ganti cewek yang nemenin dia tidur. Cukup satu. Gue," ucapku dengan pelan karena tak ingin ada orang lain yang mendengarkan, berhubung kelas mulai ramai dengan mahasiswa lain. Kondisi kelas yang semakin ramai membuat kami memutuskan untuk melanjutkan obrolan setelah kelas selesai.

*********

Usai kelas, tentu saja kami melanjutkan obrolan yang tertunda. Aku dan Nina merancang rencana untuk membuat Nina dapat mendekati Soleil. Pertama, aku akan lebih sering menceritakan Nina saat bersama dengan Soleil, sehingga akan meninggalkan kesan baik. Selain itu juga untuk mengingatkan kalau Nina masih berhutang mengajaknya makan ice cream untuk meminta maaf atas insiden 'tabrak lari' versi Nina. Kedua, Nina akan mengajariku beberapa hal mengenai dunia komunitas lesbian. Sejenis dengan komunitas yang sering diikuti oleh Ghia. Intinya Nina akan merubahku agar sesuai dengan standar seorang Ghia. Ketiga, kalau keduanya mulai menaruh rasa pada kami, maka kami akan berpura-pura mesra untuk membuat Ghia dan Soleil cemburu.

Sounds like a good plan.

"Eh, tapi lo siap gak kalau diajak enak enak sama Ghia?" tanya Nina tiba-tiba padaku. Tentu saja aku yang sedang meminum es jeruk langsung tersedak. "Ya elah kayak bocah perawan aja lo. Diajak enak enak langsung muncrat," seloroh Nina sembari menyodorkan tissue.

Jelas saja isi kepalaku dipenuhi oleh memory malam pertamaku bersama dengan Ghia pada malam pesta ulang tahunnya yang ke-17. "Errm... Gue gak pernah having sex sama pacar-pacar gue yang sebelumnya." Kuakui memang aku tidak pernah melakukan sesuatu lebih dari berciuman dan saling meraba. Ya itu sih salah satu alasan kenapa aku sering putus dengan pacar-pacarku, karena aku sering meninggalkan mereka saat sudah tegang. Hehehe....

"Anjay. Perawan ting-ting lo?" tanya Nina dengan wajah terkejut, karena memang banyak rumor mengatakan kalau aku sudah tak perawan setelah putus dengan Rendy. Menjawab pertanyaan Nina, aku menggelengkan kepala. "Lah terus lo main sama siapa huh?" tanya Nina dengan bingung. Dia menyesap es teh tawar yang ada di hadapannya sembari menunggu jawabanku.

"Ghia," jawabku sambil menahan rasa malu, aku yakin pasti wajahku sangat merah saat ini. Sementara itu aku melihat mulut Nina menganga lebar hingga teh dalam mulutnya keluar. Yuckk. Ganti aku yang melemparkan tissue padanya.

*********

Malam - Buku 3 dari Trilogi Our UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang