Chapter 10

58 7 0
                                    

--- CELINE POV. ---

Selembar kertas folio bergaris yang masih kosong disodorkan padaku. Otomatis kepalaku mendongak dan mendapati Nina berdiri dengan tangan masih menyodorkan kertas tersebut. "Buat apaan?" tanyaku sembari menerimanya.

"Lo tulis cerita cinta lo sama Ghia biar gue bisa menghayati, terus ngasi strategi yang cakep buat lo," ujarnya dengan yakin. Gila apa ini orang. Memangnya perasaan aku ke Ghia itu kasus hukum yang harus ditulis berita acara detil apa ya. "Kalo gak mau, berarti lu harus pergi nongkrong dan shopping sama gue sekalian cerita. Lo yang bayarin. Gimana?" tawar Nina yang kujawab dengan ekspresi wajah tak percaya. Dia tertawa. "Gue lagi bokek nih, mau nabung buat kencan. Bentar lagi kan valentine, gue mau ngajakin Soleil kencan. Bisa gak kira-kira?"

Aishh.. Dasar makhluk satu ini. Memang tak mau rugi kalau soal tukar menukar tips dan benefit. "Gak tau deh soal Soleil. Nanti kita cari tau aja. Mampir ke rumah gue nanti biar bisa ketemu sama Soleil."

Baru saja aku selesai melontarkan perintah untuknya mampir ke rumahku, dia langsung menyengir seolah menemukan ide brilliant. "Kita bolos aja yuk, ke rumah lo. Biar diskusi enak, kan jam segini pasti semua sohib lo lagi ngampus," ajak Nina yang tentu saja membuatku berpikir dua kali.

Bolos, gak bolos, bolos, gak bolos. Hmmm...

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung menarik tanganku untuk bangkit dari kursi dan menyeretku keluar kelas. Berontak juga percuma, nanti dia malah gak mau bantu aku untuk dekati Ghia. "Jadi gini ya, Celine. Gue ada ide buat cari tahu apa Ghia suka juga sama lo apa gak. Kita pura-pura lagi PDKT aja, padahal aku mau PDKT sama Soleil aja. Jadi nanti kalo Ghia beneran suka sama lo, lo bisa bilang kalo gue PDKT nya sama Soleil. Gimana?"

Nina terus saja berbicara sepanjang jalan dia menyeretku ke parkiran, bahkan hingga di perjalanan menuju ke rumahku, dia tetap saja berceloteh. Banyak juga hal-hal yang Ia tanyakan padaku mengenai Ghia. Salah satunya tentang moment apa yang membuatku sadar kalau aku menyukai Ghia.

"Kalau ditanya moment apa yang buat gue suka sama Ghia. Mungkin banyak ya, tapi kalau pertama kali suka sama Ghia. Itu mungkin karena Ghia yang selalu ada buat gue sewaktu masa-masa sulit. Kayak sewaktu bonyok gue mau cerai, cuma Ghia yang tahu. Walau sohib gue ada, tapi gak semua mereka tahu. Cuma Ghia yang tahu semuanya, karena selama ini memang cuma Ghia yang gak bosen dengerin gue, gak sibuk dengan urusan percintaannya sendiri."

Bukannya aku tidak suka dengan kisah percintaan Soleil dan Bintang, tapi terkadang aku merasa mereka berdua terlalu sibuk dengan orang yang mereka sukai. Padahal orang yang mereka sukai itu sering sekali menyakiti hati mereka. Berbeda dengan Ghia yang cenderung cuek dengan urusan percintaan, sehingga Ghia selalu lebih asyik untuk diajak berbuat gila. Meski aku terlihat serius di luar, sebenarnya aku selalu menikmati ide-ide gila Ghia.

Pernah suatu kali saat aku berjalan berdua saja dengan Ghia, dia dengan beraninya mengatai seorang laki-laki yang ketahuan melakukan pelecehan pada seorang perempuan di sebuah toko buku. Setelah puas mengata-ngatai lelaki itu, Ghia meludahi wajahnya lalu berlari secepat kilat. Aku yang melihat lelaki itu hendak mengejar Ghia, langsung saja menendang tulang kering kakinya hingga Ia terjatuh, lalu ikut berlari bersama Ghia. Kabur dari kejaran laki-laki itu, bukannya ke mobil, kami malah lari keluar dari toko buku dan berkejaran hingga ke kampung-kampung di belakang toko buku. Beruntung kami berhasil sembunyi di balik sebuah tong sampah besar. Mungkin lelaki itu berpikir kalau aku dan Ghia tidak akan mau main di tempat-tempat kotor karena penampilan kami.

Persis di balik tong sampah itu, aku merasa jantungku berdebar. Bukan karena lari dari kejaran lelaki itu, tapi karena posisiku dan Ghia. Dia menjepit tubuhku hingga bersandar di tong sampah jumbo ini, sementara tangannya mengungkung tubuhku. Membuat posisi kami seperti sejoli yang hendak bercumbu mesra di tempat tak selayaknya. Ghia tampak begitu innocent dan pandangannya memperhatikan lelaki itu hingga menghilang.

Untuk pertama kalinya aku melihat kembali seluruh kisah hidupku bersama dengan Ghia. Kala itu kusadari kalau ada perasaan yang berbeda untuknya.

Saat itu kami baru duduk di bangku SMA, kupikir mungkin ini adalah reaksi hormonal anak SMA biasa. Mungkin degupan jantungku saat itu hanyalah fase yang akan berakhir, tapi ternyata fase itu tak pernah mengenal kata akhir sampai saat ini.

*********

--- GHIA POV ---

Akhirnya aku bisa pulang sesuai dengan jadwal tanpa harus mendapatkan hukuman dari dokter Erwin yang gak jelas banget. Dari bisik-bisik banyak teman-teman, kuketahui kalua ternyata dokter Erwin sangat genit dan suka menggoda anak-anak koas yang ada di bawah bimbingannya. Bahkan tak sedikit yang bilang kalau sudah berhubungan dengan dokter Erwin, ya walaupun mau sama mau sih, secara katanya si dokter itu ganteng. Gila betul memang dokter genit satu itu. Ahasil teman-teman juga kerap mengingatkan aku untuk berhati-hati di sekitar dokter genit itu.

Dalam perjalanan pulang aku mampir ke Mekidi untuk membeli makan siang. Kusempatkan untuk chat ke group WA untuk bertanya apakah ada sohib-sohibku yang juga mau kubelikan untuk makan malam nanti. Namun tidak kunjung ada balasan bahkan sampai aku selesai memasukkan orderku dan membayarnya. Hanya sepaket cheese burger dengan kentang dan lemon tea yang kupesan, plus aku tambahkan sepaket nugget dan kentang untuk Celine. Dia selalu menyukai nugget di gerai makanan cepat saji ini, bahkan tak jarang dia menghabiskan 2 paket nugget dalam sekejap.

Usai mendapatkan pesanan makan siang, kulanjutkan perjalanan pulang. Sebenarnya aku enggan untuk pulang karena di rumah pasti masih sepi sebab yang lain pasti masih kelas. Hanya hari ini dalam seminggu aku memiliki jadwal pulang lebih awal dari sahabatku yang lain. Maka jelas aku terhenyak saat mendapati mobil Celine sudah terparkir rapi di garasi saat aku sampai. Tumben sekali dia sudah pulang dan tak menghubungiku untuk mengajak hang out.

Segera saja kuambil barang-barang yang perlu dibawa dari mobil dan bergegas untuk masuk rumah. Aku penasaran denga napa yang terjadi pada Celine, sekaligus khawatir sebenarnya. Khawatir kalau dia sedang sedih karena Rendy mantannya, atau hal lain yang belum Ia ceritakan padaku. Setelah meletakkan barang-barang, aku bergegas melangkah ke kamar Celine. Dan seperti biasa tanpa permisi aku membuka pintu kamarnya.

Ternyata hal tersebut membuatku menyesal. Membuka pintu kamarnya tanpa permisi membuatku menyesal karena apa yang terpampang di depan mataku. Celine dengan bra dan celana dalam saja berdiri di depan perempuan bernama Nina yang sedang duduk di tepi ranjangnya. "Sorry. Have fun," ucapku pada Celine yang terbelakak kala mendapatiku berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka. Lalu aku berbalik menutup pintu dan bergegas meninggalkan rumah.

Terserah dia mau punya berapa banyak mantan lelaki, tapi tolong jangan perempuan. Tolong jangan pernah membuatku tahu bahwa dia memilih perempuan lain dibanding aku. Brengsek. Sungguh aku benci dengan perasaan ini. Kalau dia berpacaran dengan lelaki saja, aku bisa cemburu, apalagi dengan perempuan. Tentu tak terdefinisikan apa yang berkecamuk di dalam hati dan pikiranku.

Tanpa berpikir dua kali, kulajukan mobilku meninggalkan rumah. Lebih baik aku berkendara di kemacetan Jakarta tanpa arah dan tujuan. Aku hanya perlu waktu sendiri untuk sesaat, merapikan pikiran kusut dan carut marutnya hatiku. Nanti malam aku harus pulang tanpa menunjukkan apa pun perasaanku. Aku harus ingat bahwa Celine hanyalah sahabatku, dan aku tidak berhak memiliki perasaan seperti ini padanya. Perasaan cemburu, tidak terima, dan bertanya-tanya apa kurangnya aku. Karena sungguh tak ada yang bisa kulakukan lagi untuk membuatnya melihatku sebagai seorang yang bisa Ia cintai lebih dari sahabat. Benar begitu bukan?

*********

Malam - Buku 3 dari Trilogi Our UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang