Chapter 11

53 9 0
                                    


--- CELINE POV. ---

Mataku terbelalak saat menemukan Ghia berdiri mematung di depan pintu kamarku yang terbuka secara tiba-tiba. Aku terkejut karena tak menyangka dia akan pulang secepat ini, juga karena kondisiku yang hanya mengenakan dalaman. "Sorry. Have fun."

Aku mendengar Ghia mengatakannya, tanpa sempat menjawab atau menjelaskan apa pun dia sudah membalikkan badan dan keluar dari kamarku. Dan tubuhku masih terpaku di posisi ini tanpa paham harus memberikan respon seperti apa. Aku tersadar kala ada kaos yang dilemparkan ke wajahku oleh Nina. "Good. Dia cemburu sepertinya," ucap Nina dengan santai. Mendengar komentar Nina, aku langsung mengenakan pakaianku dan bergegas mencari Ghia. Bahkan sebelum kakiku menyentuh lantai bawah, sudah kudengar mobil Ghia keluar dari garasi. Ah sial! Ghia pasti salah paham.

"Sudah gak usah dilipet mukanya. Kalo Ghia cemburu, artinya dia juga suka sama lu," oceh Nina yang berdiri di belakangku. Hufft. Aku hanya bisa menghela napas kecewa. "Makan siang yuk. Laper nih," ujar Nina yang berjalan ke arah meja makan. Di sana kutemukan sekantong Mekidi dan mencium aroma nugget kesukaanku. Pasti Ghia membelikannya untukku. Selain nugget, aku juga menemukan cheese burger dan kentang goreng. Melihatku mengambil kotak nugget, Nina mengambil cheese burger yang aku yakin seharusnya adalah milik Ghia.

Aku tidak berkomentar apa pun saat Nina meminta cheese burger itu untuknya. Hanya kuanggukkan kepala tanda dia bisa memakannya. Ghia tidak akan lagi memakannya, jadi daripada mubazir biar saja untuk Nina. Mau memakan nugget favoritku saja rasanya sudah tidak selera kalau mengingat ekspresi Ghia sebelum berbalik dan meninggalkan kamarku.

Hanya untuk klarifikasi, aku sama sekali tidak melakukan apa pun dengan Nina. Kami hanya sedang berdiskusi mengenai pakaian seksi seperti apa yang sebaiknya kukenakan untuk menggoda Ghia, dan kami sedang dalam proses mencoba-coba pakaian. "Terus berikutnya aku harus apa?" tanyaku yang sepertinya sudah buntu mau berbuat apa untuk meluruskan semua ini pada Ghia. "Gimana kalau Ghia mikir kita berdua tadi lagi melakukan yang tidak-tidak?"

Mendengar pertanyaanku, Nina malah terkekeh. "Ya biarkan saja dia berpikir begitu," ujarnya ringan. Ingin rasanya aku menendang dia saat ini, namun aku hanya menatapnya masam. "Begini ya, Cel. Kalau Ghia berpikir kita berdua dekat atau pacaran, kamu bisa manfaatkan itu. Bilang pada Ghia kalau kamu minta tolong untuk mengajarimu bagaimana mendekati, ngedate, atau ngewe ama cewek. Nah dari sana lu bisa deh makin deket dan modusin Ghia. Lu juga jadi bisa cari kepastian soal perasaan Ghia ke lu."

Penjelasan Nina yang panjang membuatku berpikir sejenak. Well di luar ide dia untuk membuat Ghia mengajariku berhubungan seks tentunya. Kurasa ide itu sama sekali tidak buruk. Dengan demikian aku bisa tahu apakah Ghia juga menaruh rasa yang sama denganku, atau hanya sekedar melihatku sebagai teman. Tentu saja tidak masalah untuk mengajari temanmu sedikit tips untuk pacaran kan. Jadi kurasa permintaanku ke Ghia nanti tidaklah terlalu aneh. Hmmm....

"Baiklah. Sepertinya itu ide yang layak dicoba," gumamku sambil menggigit nuggetku yang mulai terasa lebih baik.

Setelahnya giliran aku yang harus memberikan ide bagi Nina untuk mendekati Soleil sebagai ganti ide brilliant yang dia berikan untukku mendekati Ghia. Mungkin aku belum tahu pasti apakah ide Nina tadi brilliant atau tidak, tapi setidaknya itu adalah sebuah usaha yang sangat mungkin untuk dicoba.

*********

--- GHIA POV ---

Kakiku rasanya sangat lelah setelah berjam-jam berkeliling Jakarta tanpa tujuan. Beruntung tadi aku memutuskan untuk mampir ke toko buku langganan sehingga kakiku dapat beristirahat sejenak dari kegiatan mengemudi. Seperti biasa saat berkeliling toko buku, pasti ujungnya aku membeli buku-buku yang tidak kuperlukan. Buku-buku yang biasanya jadi keperluan atau kesukaan Celine. Dari 5 buku yang kubeli, hanya ada 1 buku kedokteran yang kuperlukan, dan 1 novel yang aku sukai. Sisanya semua selera Celine, dan tetap saja aku membelinya walau sudah menyadarinya semenjak mengantri kasir.

Sekitar pukul 11 malam, akhirnya aku memasuki kamar tidurku. Namun yang kutemui adalah sosok Celine tidur di tengah ranjangku. Tidur di kamar satu sama lain adalah hal biasa bagi kami berempat sebenarnya. Seringkali kami memiliki girls night di kamar Soleil, entah untuk saling curhat, saling mendandani satu sama lain, mencoba produk kecantikan baru, dan lain sebagainya. Biasanya tidak ada kata keberatan dariku untuk melihat Celine tertidur di kamarku, begitu juga sebaliknya.

Tapi tidak malam ini. Hatiku terasa begitu berat melihatnya yang tertidur dengan anggunnya di tengah ranjang kamarku. Rasanya aku ingin menciuminya, mencumbunya, dan menjadikannya milikku. Hanya milikku seorang. Sayang itu semua hanyalah angan yang tak mungkin. Tak akan pernah ada kisah Ghia dan Celine, sebab baginya aku hanyalah sahabat. Tak akan pernah lebih. Benar kan?

"Hey," sapaku pada Celine saat aku menggoyangkan pelan bahunya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum berfokus padaku. "Hey," sapanya kembali. Suara parau Celine yang mengantuk sangat seksi dan membuatku harus meneguk ludah. Apalagi saat dia menggeliat untuk bangun. So sexy. Aku benar-benar aneh bisa turn on hanya dengan melihatnya begini. I'm really fucked up.

"Kenapa kamu tidur di sini?" tanyaku padanya karena penasaran. Mengapa dia tak tidur di kamarnya sendiri, apakah kamarnya berantakan karena aktivitas bersama Nina yang tak ingin kuketahui.

Celine malah mencebikkan bibirnya. "Memang perlu alasan buat tidur di kamarmu?"

Kugelengkan kepala dengan sabar. Lalu berlalu ke arah lemari untuk mengambil baju tidur, dan hendak melangkah ke kamar mandi. Biarkan saja Celine bersikap begitu, karena tampak menggemaskan. "Aku mandi dulu, terus kamu boleh cerita apa yang mengganggumu. Karena aku tahu tidak ada alasan bagi Celine untuk tidur di kamarku kalau tidak ada yang mau diceritakan."

Selepas membersihkan diri dengan cepat di kamar mandi, aku menggosok gigi juga, sehingga dapat langsung tidur nanti setelah Celine selesai cerita. Baru saja aku duduk di tempat tidur, Celine langsung meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu menatapku dengan serius. "Kenapa?" tanyaku dengan tatapan tak kalah serius.

"Ajarin aku gimana caranya mendekati seorang perempuan? Gimana ngajak mereka ngedate? Gimana caranya berciuman dengan mereka? Dan..."

Mendengar serentetan pertanyaan dan permintaan itu saja kepalaku rasanya sudah pening, apalagi mendengar kata-kata terakhirnya yang menggantung. Please, jangan minta satu hal itu. Please, jangan meremukkan hatiku. Please, jangan.

"Dan ajari aku untuk bercumbu dengan perempuan. Karena aku ingin membuatnya mencintaiku," cicit Celine dengan menundukkan wajah. Wajahnya merah padam karena malu.

Warna wajahnya sekarang mungkin sama denganku. Merah. Tapi alasannya beda. Dia karena malu, aku karena kehabisan napas. Sebab rongga dadaku terasa terlalu sesak akan permintaannya.

"Okay."

1 jawabanku. Sebab seperti biasanya juga. Aku akan selalu melakukan apa pun yang Ia perlukan dan inginkan. Sekalipun aku tahu akan menghancurkan diriku nantinya.

"Dengan 2 syarat, Cel," ujarku menambahkan dengan tersenyum. Apalagi yang bisa aku lakukan selain tersenyum untuknya bukan? "Pertama, ini hanya akan kulakukan sekali. Dan jangan melihatku sebagai sahabatmu, sebab ini hanya bisa dilakukan kalau kamu tidak melihatku sebagai sahabat. Kedua, setelah ini semua selesai, tolong bersikaplah seperti biasa. Jangan canggung, apalagi menjauhiku. Sebab aku tidak ingin kehilangan persahabatan kita."

Senyuman yang terbit di wajahnya menjadi segel yang menjamin dahsyatnya rasa sakit di hatiku.

*********

Malam - Buku 3 dari Trilogi Our UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang