Chapter 8

279 37 3
                                    

--- GHIA POV. ---

Nina ini. Nina itu. Nina lagi. Nina lagi.

Kenapa setiap hari sekarang bahasan Celine adalah Nina dan selalu dia. Apa dia tidak bosan membicarakan teman barunya itu? Apa dia mulai merasa kalau hubungan pertemanan kami ini membosankan, sampai dia tidak lagi bisa bersenang-senang denganku tanpa ada unsur Nina di dalamnya. Kalau Nina tidak datang di saat kami bersama, Nina pasti akan menjadi topik pembicaraannya. Satu lagi yang aku gak suka, bahkan Nina sudah berhasil membuat tante Luna terkesan padanya. Tante Luna bahkan berkata kalau Nina anak yang baik dan cerdas, masa depannya akan cerah di bidang hukum nantinya. Elah. Nyebelin amat!

Kalian mau tahu bagaimana aku bisa tahu pendapat tante Luna tentang Nina? Ya tentu saja Celine yang bercerita padaku dengan rasa bangga. Terlalu bangga mungkin. Hufft. Aku merasa kenapa begini, kalau memang Celine tidak lagi straight, atau ingin mencoba sesuatu dengan hubungan sesama jenis, jelas ada aku kan. Apa aku gak sesuai dengan seleranya ya? Hufft. Ini semua sangat menyebalkan.

Buat catatan penting saja, tante Luna sepertinya tidak terlalu suka padaku semenjak coming out as lesbian. Dia merasa kalau di antara seluruh teman Celine, aku adalah yang paling nakal dan bermasalah. Wajar sih, kan tante Luna itu pengacara, dia sering sekali menangani kasus anak-anak remaja yang troublemaker.

Setiap kali aku dan Celine main bersama atau ke rumahnya, pasti pertanyaan pertama yang muncul adalah apa aku sudah punya pacar. Sepertinya dia sangat suka menceramahiku mengenai memiliki pasangan. Kalau aku tidak boleh gonta ganti pacar hanya karena aku penyuka sesama jenis dan tidak bisa hamil atau menghamili perempuan lain.

"Ghi. Ghi. Ghia!" panggil perempuan yang duduk di depanku sambil melambaikan tangannya di depan mataku. Aku langsung tersadar kalau dia sedang berbicara denganku. Ya pastinya tentang Nina.

"Sorry. Sorry," ujarku padanya dengan memberikan senyuman terpaksa. "Kenapa tadi sama Nina?" tanyaku kembali meski dengan perasaan tak rela. Namun senyum di wajahku terus terkembang.

"Ishh... Kamu kenapa, Ghi? Kalau ada masalah cerita dong. Masa sampai ngelamun gitu. Udah kamu dulu coba cerita ada apa," bujuk Celine yang sepertinya menyadari perubahan sikapku. Tentu saja aku tidak mungkin jujur bilang padanya kalau aku cemburu dan tidak suka dengan kedekatannya dan Nina.

"Gak apa, Cel. Cuma tugas numpuk aja, makanya aku kayak capek dan gak fokus jadinya," jawabku dengan memberikan cengiran khas yang selalu kupampangkan kalau melakukan suatu kesalahan. Dia mengangguk-angguk paham. Jawaban mengenai tugas anak kedokteran memang paling mudah digunakan sebagai tameng. "So, kenapa tadi Nina?" tanyaku kembali.

"Oh itu. Aku tadi bilang kalau hari ini Nina ada seleksi untuk menjadi pemain pengganti di tim futsal kampus kita. Keren kan? Aku sebenarnya mau datang nonton dia seleksi, tapi gak bisa soalnya ada acara di rumah. Oh ya, nanti kayaknya aku gak pulang deh, soalnya aku mau tidur di rumah papi mami aja. Papi hari ini pulang, katanya ada anak rekan bisnisnya gitu yang ikut dia. Makanya aku diminta pulang ke rumah papi mami."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Apa dia mau dijodohkan lagi dengan orang lain? Tante Luna memang hobi sekali menjodohkan Celine dengan banyak anak kenalannya atau suaminya. Jadi acara seperti ini sudah menjadi cerita biasa bagiku dan sahabat-sahabatku. Beberapa ada yang memang berhasil menarik hati Celine, meski tentu saja berakhir putus. "Ya sudah nanti aku beritahu Soleil dan Bintang kalau mereka cari kamu," jawabku. "Ada cowok ganteng yang mau dijodohkan lagi denganmu?" tanyaku dengan nada mengejek padanya.

Celine langsung menjulurkan lidahnya mendengar nada mengejekku, karena dia sudah sangat biasa kuejek tidak laku sampai harus dijodohkan. Dia sudah biasa kuejek kalau dirinya seperti Siti Nurbaya. "Biar dijodohin kalau cakep, baik, dan cocok ya gak apa. Aku sih happy aja," ujar Celine tapi dengan wajah cemberut. Aku hanya tertawa saja mendengar jawabannya yang sok tidak peduli dengan ejekanku. "Udah ah, aku mau ke kelas dulu. Bye, Ghia," pamitnya sambil mencuri sepotong siomay dari piringku. "Oh ya nanti kamu pulang sendiri ya, Ghi!" serunya sambil berjalan ke kelasnya yang aku tahu sudah mendekati waktunya dimulai.

*********

Kelasku masih dimulai nanti sore, jadi masih ada banyak waktu kosong. Aku sedang malas berkumpul dengan teman-teman fakultasku. Sebaiknya kucari Soleil saja, karena seingatku dia bilang mau berlatih di kampus hari ini. Soleil mengikuti kompetisi duta kampus yang diselenggarakan oleh BEM kampus. Berhubung Bintang adalah salah satu pengurusnya, maka Soleil bersedia ikut meramaikan acara itu. Salah satu seleksinya adalah dengan acara unjuk bakat, maka dia memilih untuk bermain biola.

Benar saja aku berhasil menemukan Soleil yang tengah melantunkan sebuah lagu dari biolanya. Lagu ini melantunkan melodi kesedihan yang aku ingat diciptakan oleh Yiruma. Meski melodinya sedih, tapi dimainkan dengan sangat bagus. Membuatku segera bertepuk tangan setelah Ia selesai memainkannya.

"Patah hati, Soleil sayang?" tanyaku dengan nada menggoda. Kuhampiri dirinya yang berada di podium untuk mendengar ceritanya. Ada beberapa episode yang aku lewatkan dari hidup sahabatku ini sepertinya. Diamnya menjadi jawaban atas pertanyaanku, sehingga aku sudah langsung tahu kalau memang dia sedang patah hati. Ditambah lagi dengan air matanya yang berurai dalam pelukanku. Ah siapa lagi kalau bukan makhluk itu alasan patah hatinya. Selalu Ravi.

Aku mendengarkan cerita Soleil yang menyedihkan, aku rasanya ingin memukul kepala Ravi keras-keras. Bagaimana bisa dia mempermainkan perasaan sahabatku ini dengan begitu mudahnya. Oh ya buat kalian yang penasaran, baca aja cerita di lapak author dengan judul Matahari. Nah, kalian bakal tahu kalau Ravi itu brengsek, dan sayangnya sahabatku ini cinta mati sama dia. Siapa yang sudah baca dan setuju, silahkan comment.

Setelah mendengarkan kisah Soleil, aku menemaninya menuju ke lapangan futsal di mana seleksi akan dilakukan. Alasannya jelas karena Soleil ingin melihat Ravi, sementara aku jelas penasaran untuk melihat kemampuan dari Nina. Aku ingin melihat kemampuan perempuan yang begitu dibanggakan oleh Celine. Baru saja kami melangkah menuju ke lapangan futsal, kami sudah disuguhi pemandangan tidak menyenangkan, terutama bagi Soleil. Meski begitu, dia tetap memaksa untuk melihat performa Ravi di lapangan. Usai menunjukkan kebolehannya di lapangan, lagi-lagi Ravi menunjukkan perilaku yang menyakitkan hati Soleil. Sebagai sahabat yang baik, tentu saja aku mengajak Soleil untuk pulang, meskipun aku belum sempat melihat penampilan Nina, si idolanya Celine.

Baru saja meninggalkan lapangan futsal, seseorang menabrak Soleil dengan cukup keras. Sepertinya dia terburu-buru sampai dia tidak melihat kami. Dia meminta maaf pada Soleil dengan sangat tulus, aku yang masih fokus memeriksa keadaan Soleil segera menenangkan orang yang menabraknya. Aku baru sadar kalau dia adalah Nina saat memperkenalkan diri pada Soleil, dan aku pura-pura tidak ingat padanya. "Ghia," ucapku dingin sambil menjabat tangannya. Dia tampaknya juga tak terlalu memperhatikanku, karena dia tidak menyadari bahwa aku orang yang sama dengan yang dikenalkan oleh Celine. Dia hanya fokus pada Soleil, dan itu membuatku semakin emosi. Bagaimana bisa perempuan seperti ini, ceroboh, genit, dan sok charming bisa membuat Celine tertarik padanya?

Dia bahkan berani-beraninya meminta nomer Soleil. Aku tahu ini wajar, karena memang kecantikan Soleil sering menarik perhatian laki-laki dan perempuan dengan cepat. Tapi aku tetap tak terima kalau Celine yang sepertinya menyukai Nina dipermainkan begini olehnya.

"Ghi, aku gak apa kok. Udah dong jangan natap Nina begitu. Dia gak sengaja kan. Kalau tatapan kamu bisa membunuh, aku yakin dia sudah terkapar gak bernyawa sekarang," ujar Soleil setengah bergurau. Tentu saja ucapannya menyadarkanku dari tatapan mematikan yang mengekor kepergian Nina dari pandanganku. Aku hanya mengangguk, kemudian mengajak Soleil kembali berjalan.

Selanjutnya aku menemani Soleil sampai dia dijemput oleh Mang Ujang, baru aku pergi ke kelas dengan kepala yang masih dipenuhi rasa penasaran mengenai sosok Nina. Juga emosi di hatiku yang terbakar cemburu, serta protektif pada Celine.

*********

Malam - Buku 3 dari Trilogi Our UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang