04. Berpisah Untuk Bertemu

18 3 7
                                    

"Yakin mau pergi sekarang? Gak mau ditunda sampai Nusa berusia lima tahun?"

Suara ibu mertua Wendy ini terus bergema sejak semalam sampai pagi ini di Bandara Soekarno-Hatta. Melati—ibu Chandra— tak henti membujuk menantunya agar menunda perjalanan mereka, ibu tiga anak itu khawatir melihat cucu-cucunya yang akan menempuh jarak ribuan kilometer sampai entah di mana dengan menggunakan mobil.

Kekhawatiran itu berdasar pada banyaknya berita yang sejak beberapa hari yang lalu membuatnya cemas. Tidak semua negara di belahan bumi ini bisa senyaman dan seaman Indonesia, begitu pikirnya.

"Coba kamu bilangin Chandra buat pikir ulang lagi, Wen. Dia gak mau dengar Ibu."

Wendy hanya diam, bingung akan membalas apa pada ibu mertuanya. Di satu sisi dirinya memahami kekhawatiran Melati yang berdasar, di satu sisi lagi Wendy tahu bahwa perjalanan ini yang mereka impi-impikan. Wendy yakin ketika dirinya nanti membujuk Chandra pun pria itu tidak akan mengubah keputusannya. Semua sudah direncanakan dengan baik, pun materi sudah banyak keluar. Keluarganya hanya tinggal terbang selama dua jam lebih ke Kuala Lumpur dan perjalanan akan benar-benar dimulai.

"Ibu, Wendy gak bisa bujuk ayahnya anak-anak," sesalnya, kini meraih jemari sang ibu untuk digenggam. "Tinggal selangkah lagi dan kami langsung memulai impian ini. Wendy juga gak tega kalau meminta ini ditunda. Lihat Kak Chandra, Bu." Melati langsung mengarahkan pandangannya pada Chandra yang menggendong Nusa yang sedang mengobrol dengan keluarganya yang lain sembari menunggu check in nanti.

Melati melihat itu, sorot antusias dari mata Chandra. Anak tengahnya terlihat tak sabar memulai perjalanan. Anggukan semangat menjadi keyakinan yang besar akan kesungguhannya melakukan perjalanan ini.

"Wendy juga gak mau buat kebahagiaan di wajah Kak Chandra luntur," ujar Wendy. Telak. Membuat Melati harus mundur untuk menggagalkan kepergian anak dan cucunya.

• journey of love •

Beberapa orang percaya jika bandara menjadi tempat yang spesial. Bandara tempat bertemu sekaligus berpisah secara bersamaan. Kadang kala ketika seseorang melepas orang terkasihnya di bandara, dia juga harus siap melepas kepergian yang mungkin tak akan pernah ada pertemuan lagi.

Tidak ada perpisahan yang indah selain pergantian tahta sang raja siang dan raja malam. Tidak pernah ada yang benar-benar siap berpisah. Tidak ada pula yang sanggup menabung rindu sampai nanti bertemu lagi. Sehingga kebanyakan orang takut akan perpisahan. Tak jarang mereka lebih suka tak bahagia tapi bersama dari pada tak bahagia tapi berjauhan.

Lalu, orang tua mana yang sanggup berpisah dengan anaknya. Sehingga dapat dipahami ketika Melati dan Agung berat hati melepas kepergian Chandra siang itu.

"Jangan lupa telepon kalau ada apa-apa," ujar sang ayah—Agung. Pria paruh baya itu menepuk-nepuk bahu Chandra seolah ada yang ingin dia sampaikan.

Chandra memahami dengan jelas perasaan kedua orang tuanya. Bagaimanapun berpisah bukan hal yang menyenangkan. Dirinya sudah menjadi orang tua sehingga kekhawatiran yang dirasakan oleh Agung dan Melati bisa dimengerti. Hingga, Chandra hanya bisa menatap mata sendu sang ayah untuk meyakinkannya. Bahwa pergi bukan berarti membentuk jarak di antara mereka.

"Ayah gak perlu khawatir, Wendy dan anak-anak dalam perlindungan Chandra," ujar Chandra memberikan sorot teduh pada sang ayah.

Cahaya dari mata Chandra mampu meluluhkan hati pria tua itu, sehingga senyum tercetak jelas di wajah keriputnya. "Ayah gak pernah khawatir soal menantu dan cucu-cucu Ayah, karena Ayah tahu ada kamu di samping mereka. Tapi, bagaimana dengan kamu?"

Melati yang berada di jarak dekat antara suami dan anaknya menoleh pada sang suami. Hidup puluhan tahun dengan Agung membuatnya mengerti. Berat rasanya melepas kepergian sang anak. Anak yang dari kecil dijaga dan dijauhkan dari bahaya, kini memilih kehidupan ekstrem menjelajah dunia. Yang kita semua tahu indah tetapi perlu perjuangan.

Chandra hanya mengulas senyum. Melirik Wendy dan eksistensi ketiga anaknya. Mereka nyata. Merekalah jawaban dari pertanyaan sang ayah, yang tak seharusnya dipertanyakan lagi.

"Chandra ada untuk mereka, begitupun mereka ada untuk Chandra, Yah. Ayah gak usah terlalu khawatir, Chandra janji apapun yang terjadi nanti akan selalu ngabari kalian."


• journey of love •

Pertama kali Nusa menghirup udara negara tetangga. Batita itu tak henti-hentinya berceloteh senang saat mereka baru menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia.

Dari titik ini, keluarga Chandra akan memulai perjalanan panjang Asia - Afrika - Eropa selama kurang lebih satu tahun penuh menggunakan mobil.

Chandra memastikan anggota keluarga serta barang bawaan mereka aman. Setelah dari bandar udara, keluarga kecil itu akan menuju rumah salah satu temannya yang bernama, Malik. Seorang pria empat puluhan asal Indonesia yang menetap di Malaysia sejak sepuluh tahun lalu.

Chandra menghampiri Wendy yang tengah membuka ponselnya. Sang istri sedang membalas pesan dari keluarga dan kerabat perihal kedatangannya ke Malaysia dengan selamat.

Di samping Wendy, Renja dan Rinjani sedang duduk sembari menjaga koper dan barang bawaan lain. Dan Nusa yang tidak lepas dari gendongan sang ibu.

"Udah semua?"

Renja langsung berdiri untuk memastikan semua aman. Ia memberikan gestur 'oke' pada sang ayah.

"Ayo, Om Malik udah ada di depan." Chandra membawa koper besar dan satu tas.

Perjalanan memerlukan waktu satu setengah jam lamanya dari bandar udara menuju rumah Malik yang berada di pinggiran kota.

Sesampainya di sana, keluarga itu di sambut hangat oleh istri Malik yang merupakan warga asli Malaysia. Kedua keluarga itu pun saling bercengkrama sembari menikmati menu makan malam.

Chandra sedang memasukan barang bawaan mereka ke dalam mobil, serta mengecek ulang daftar yang selalu ada di catatan kecilnya. Sebagai kepala keluarga, ia sangat diandalkan. Wendy dan anak-anak sangat bergantung padanya.

Mobil yang lebih dulu sampai di Malaysia ini, diurus oleh Malik sebelum bisa berkeliling Malaysia. Pria itu banyak membantu Chandra untuk memperlancar perjalanan mereka. Malik juga memberikan tumpangan satu malam pada keluarganya, agar mereka bisa istirahat sebelum perjalanan panjang benar-benar dimulai besok.

"Salut gue sama lo," ujar Malik, disela memerhatikan Chandra yang sibuk.

"Ada jalan selagi masih usaha, Bang," Chandra menyahut bangga.

"Nah, itu. Orang-orang usaha tapi banyak gak konsisten makanya tujuan belum bisa kecapai." Malik mematikan puntung rokok dengan menekannya pada asbak. Ia mengambil secangkir kopi yang telah dingin untuk diminum.

"Mereka belum sampe tujuan bisa aja pake jalan yang lebih jauh," balas Chandra lagi.

"Iya, sih." Malik mengangguk setuju. "Gue jadi pengen pergi juga."

"Ya, ayo. Seneng gue ada yang nemenin di jalan," Chandra menanggapi dengan gurauan.

"Kagak ada duitnya," Malik tergelak, "Kapan-kapan, InSyaAllah. Kerja rodi sepuluh tahun dulu baru bisa berangkat."

"Aamiin ya, Bang. Moga cepet nyusul pergi bareng keluarga."

Malik menepuk pundak Chandra, sang pemeran utama itu telah selesai dengan tugasnya. Ia kembali duduk di samping Malik, menyesap kopi yang telah dingin di tengah malam ketika keluarga mereka tengah tertidur pulas.

"Hati-hati di jalan, gue doain aman-aman aja nanti. Semoga di jalan sehat-sehat, diperlancar segala urusan, dan paling penting pulang dalam keadaan selamat sampe rumah nanti."

Chandra ikut berdoa dalam hati. Meski takut itu kembali hadir, namun ia telah melangkah sejauh Indonesia-Malaysia sangat disayangkan jika mereka harus membatalkan rencana yang telah disusun sejak lama itu.

• journey of love •

Journey Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang