7

493 100 8
                                    

Toneri menggoyangkan kaleng minuman soda di tangannya. Sesekali, ia menghela napas karena isak tangis Shion tak kunjung mereda, malah semakin parah seiring hari yang kian petang.

Entah sudah berada banyak waktu yang sudah habiskan di sini. Mereka hanya duduk berdua, dengan Shion yang terus menujukkan kesedihan yang dalam.

Toneri sudah paham apa yang menjadi penyebab utama Shion seperti ini. Namun, ia harus bersikap seakan tak tahu apa-apa, dan berpura-pura menanyakannya.

"Apa yang terjadi?"

Telapak tangan yang sedari tadi digunakan untuk menutupi keseluruhan wajahnya, kini diturunkan dengan lembut.

Shion menoleh. Belum ada kata yang terucap. Malah, Shion kembali terisak, sebelum pada akhirnya ia membuka suara.

"Toneri ..., Naruto--"

Menyebalkan sekali. Setiap kali menyebut nama itu, Shion merasakan perih yang kian hebat pada hatinya. Sampai sekarang, dia masih belum terima dengan keputusan Naruto untuk menyudahi hubungan mereka.

Ini sangat sakit. Shion tak sekuat itu untuk bisa bertahan. Cintanya yang besar telah membuatnya menjadi sangat lemah. Lemah, karena meskipun marah, Shion tetap tidak sanggup membenci Naruto.

Bahkan kini, dari hati paling dalam, ia berharap semua ini hanya mimpi.

Pemuda itu adalah kegilaan terbesar dalam hidupnya. Shion masih ingin merajut kembali bila ada kesempatan.

Hubungan mereka memang belum memakan waktu bertahun, tetapi kisah ini telah menjadi bagian penting dari memori seumur hidupnya.

Terkadang, lebih baik tak diberi kesempatan sama sekali, daripada harus diizinkan mencicipi, tetapi pada akhirnya hanya dibuat sakit hati.

Dan ini semua karena Hinata.

Dia yang membuat Shion memiliki harapan dengan memberikan kata-kata dusta jika Naruto juga sering memperhatikannya. Akan ada kesempatan selagi Shion berani menunjukkan perasaan.

Tapi, memang lebih baik hal itu tidak pernah terjadi.

Shion bukan menyesal karena telah mencintai pria dingin seperti Naruto, dia menyesal karena sempat percaya jika mereka bisa berjalan lebih lama.

Sungguh, ini terlalu sesak. Terlalu mencekik.

"Shion?"

"Dia meninggalkanku, Toneri. Naruto ... dia memutuskan hubungan begitu saja. Aku merasa ini benar-benar tidak adil. Aku tidak bisa terima. Aku terlalu mencintainya."

Toneri mengepal erat kedua tangannya. Hatinya mencelos. Kenapa Shion harus seterpuruk ini hanya karena seseorang seperti Namikaze Naruto? Kenapa dia harus rela menderita, dan bahkan masih berharap setelah merasakan sakit?

Sebegitu besarkah perasaannya terhadap laki-laki brengsek itu?

Kenapa Shion tak bisa menilai tempat terbaik yang bisa dipakai untuk meletakkan hatinya?

Kenapa harus Naruto? Padahal, di sini ada dirinya. Ada dia yang selalu bersedia berada di sisi Shion dalam kondisi apa pun.

"Shion, ...  segala sesuatu memiliki akhir. Berpisah sekarang akan jauh lebih baik dibanding harus melewati waktu yang lebih banyak lagi, perasaan yang lebih dalam lagi, sebelum dibuat untuk merasakan sakit. Aku tidak memintamu untuk bersyukur untuk hal itu, tapi setidaknya, lihatlah sisi positifnya."

Toneri menarik pelan tubuh itu. Memberi rengkuhan lembut agar Shion bisa merasa lebih tenang.

"Sudah kukatakan sejak awal, dia laki-laki brengsek. Tapi kau tidak pernah percaya padaku."

Kuroi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang